Truisme “Narkotika Jenis” dalam Media Massa Indonesia

Pada umumnya orang tahu bahwa sabu-sabu (metamfetamina) dan ganja merupakan salah satu jenis narkoba, atau lebih spesifik, narkotika.

Holy Adib

Saya sering menemukan kalimat seperti ini di media massa: Si A memakai narkotika jenis sabu-sabu atau Si B mengedarkan narkoba jenis ganja. Karena saya pernah bekerja sebagai wartawan, insting jurnalistik saya buru-buru bangkit dari kuburnya untuk mengatakan bahwa ada yang mubazir dalam kedua kalimat itu. Tiap kali membaca hal-hal yang tak perlu dalam sebuah berita, saya merasa tidak nyaman, lantas menyunting kalimat itudalam pikiran saya.

Oleh Holy Adib : Pemerhati Bahasa

Pada umumnya orang tahu bahwa sabu-sabu (metamfetamina) dan ganja merupakan salah satu jenis narkoba, atau lebih spesifik, narkotika. Maka, tidak perlu ditulis dalam berita bahwa sabu-sabu atau ganja merupakan jenis narkotika atau narkoba. Hal-hal seperti itu tak perlu ditulis karena berita bukanlah tempat menulis hal yang sia-sia. Setiap kata, frasa, maupun kalimat yang ditulis seharusnya memuat informasi yang perlu diketahui publik dan pengetahuan yang belum diketahui pembaca.

Menyebut sabu-sabu atau ganja sebagai jenis narkotika merupakan truisme. Anda mungkin belum pernah atau jarang mendengar truisme karena kata itu jarang dipakai. Truisme adalah pernyataan yang kebenarannya sangat jelas dan diterima secara umum sehingga tidak perlu diucapkan, biasa digunakan sebagai pengingat atau kata bijak, misalnya ada sebab pasti ada akibat(KBBI V daring).

Informasi dalam truisme tidak salah. Justru karena benar dan lazim diketahui publik,informasi itu tak ada gunanya diberitahukan kepada khalayak. Apa gunanya mengatakan kepada orang bahwa ular adalah hewan yang tidak punya kaki dan ketiak? Jawaban atas pertanyaan itu sama dengan jawaban dari pertanyaan: Apa gunanya mengabarkan kepada masyarakat bahwa sabu-sabu atau ganja itu salah satu jenis narkotika? Ingat, berita ditulis sebagai informasi, bukan sebagai lelucon atau sampah.

Menulis truisme tak ada gunanya selain membuat pembaca kesal. Pembaca seperti saya kesal membaca truisme dalam berita karena media menganggap pembaca seakan-akan bodoh lantaran tak tahu akan truisme itu. Media seperti itu seolah-olah menganggap pembacanya kurang pengetahuan akan informasi-informasi umum. Puluhan tahun yang lalu Goenawan Mohamad membuat anjuran menulis yang bagus kepada wartawan sebagai pertimbangan untuk menghargai pembaca.

Pada artikel “Bahasa Indonesia untuk Pers”dalam Pengetahuan Dasar bagi Wartawan Indonesia (1977) ia menyarankan, “Buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu.” Menulis sabu-sabu atau ganja sebagai jenis narkotika membosankan orang sebab orang sudah tahu, apalagi kalau informasi tak penting dan tak baru itu diulang-ulang dalam banyak berita.

Sebelum Goenawan Mohamad, M. Wonohito sudah menganjurkan wartawan untuk mempertimbangkan pembaca dalam menulis berita. Saran itu berhubungan dengan corak bahasa surat kabar. Dalam bukunya, Berita: Sifatnja, Mentjarinja, Menjusunnja (1960), ia mengatakan bahwa corak khusus bahasa surat kabar ditentukan oleh sifat-sifat surat kabar sebagai bacaan umum, yaitu bacaan bagi sejumlah besar orang yang amat bermacam-macam ragamnya dan berbeda-beda keadaannya.

Sifat surat kabar sebagai bacaan umum menyebabkan bahasa surat kabar jadi menghadapi dua macam ketentuan. Salah satu ketentuan itu ialah harus dapat dibaca oleh profesor dan lulusan kursus buta huruf.

“Kalangan pembaca surat kabar umum bermacam-macam tingkat pendidikannya serta lingkungan kehidupannya sehingga taraf pengetahuan umum serta pengetahuan bahasanya pun berbeda-beda. Oleh karena itu, bahasa surat kabar harus sedemikian rupa sehingga dapat dipahamkan oleh pembaca yang paling minimum pengetahuannya, tapi harus tetap dapat menarik kaum terpelajarnya,” kata salah satu pendiri Kedaulatan Rakyat itu.

Selain itu, dengan menulis truisme dalam berita, wartawan telah melanggar sifat khas bahasa jurnalistik, yakni singkat dan padat. Sifat khas lain bahasa jurnalistik selain singkat dan padat, menurut Rosihan Anwar dalam Bahasa Jurnalistik dan Komposisi(1979), ialah sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik.

Jika ada wartawan yang menganggap truisme dalam berita sebagai gaya menulis berita agar beritanya menarik, itu merupakan gaya menulis berita yang tidak diajarkan dalam pelatihan jurnalistik dan tidak menarik sama sekali. Kalau ada yang mengajarkan itu dalam pelatihan jurnalistik, pengetahuan jurnalistik pengajarnya perlu dipertanyakan.Gaya seperti itu tidak membuat berita makin menarik untuk dibaca, tetapi malah mengakibatkan berita makin tak menarik karena mengesalkan.

Menonjolkan Kesia-siaan
Yang membuat saya bertambah kesal dalam kasus truisme “narkotika jenis” itu ialah bahwa truisme itu ditulis pada judul. Itu sama dengan memamerkan kesia-siaan. Rupanya kesia-siaan itu tidak cukup hanya diletakkan di dalam berita, tetapi juga harus ditaruh padajudul. Judul merupakan hal pertama yang dibaca dari sebuah berita. Menempatkan truisme pada judul berarti menyodorkan kesia-siaan sebagai hal pertama yang akan dibaca publik.

Inilah sejumlah contoh judul berita yang memuat truisme “narkotika jenis”:

Judul berita merupakan tempat kata ditaruh dengan pertimbangan terbatasnya ruang. Karena itu, kata-kata yang ditempatkan pada judul seharusnya kata-kata yang penting saja, yang mewakili gambaran isi berita. Jangan sampai ada kata yang tidak perlu atau kata yang maksudnya sudah diwakili kata lain yang diletakkan pada judul.

Saya menduga bahwa truisme “narkotika jenis” ada dalam berita karena pengaruh bahasa laporan polisi. Sewaktu menjadi wartawan, saya sering mendapatkan laporan tentang kegiatan polisi di lapangan, termasuk penangkapan. Laporan itu ditujukan kepada atasannya, misalnya kapolres. Laporan itu juga diperoleh oleh wartawan dari sumber di kepolisian melalui pesan terusan via WhatsApp.

Dalam laporan itulah saya temukan truisme “narkotika jenis” tersebut. Begini contoh kalimatnya:Kepada Yth: Kapolresta A. Assalamu’alaikum, selamat pagi pak, mohon izin melaporkan bahwa telah dilakukan penangkapan terhadap 1 (Satu) orang laki-laki dewasa yang merupakan pelaku tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika jenis Shabu. Wartawan sebaiknya tidak menjadi tukang tiru bahasa polisi.

Polisi membuat laporan kepada atasannya dengan bahasa yang mubazir bukanlah urusan jurnalis. Jika menerima laporan itu dari polisi sebagai informasi atau data, pewarta harus menyaring kata-kata mana saja yang perlu diambil untuk ditulis sebagai berita.Penting untuk diingat bahwa berita bukanlah wadah untuk menulis apa yang ingin ditulis wartawan, melainkan apa yang perlu ditulis. (**)

Penulis adalah seorang pemerhati bahasa yang pernah menjadi wartawan Haluan pada tahun 2013—2018 dan CNNIndonesia.com pada Februari 2020—Februari 2021.

Exit mobile version