PADANG, RADARSUMBAR.COM – Buntut dari laporan Zuldesni ke polisi (31/7) lalu, rumah yang bersangkutan dibongkar paksa Rektor Universitas Andalas (Unand). Melalui surat somasi tertanggal 1 Oktober 2021, Rektor Universitas Andalas akan melakukan pembongkaran Rumah Negara yang dihuninya. Pembongkaran itu ditembuskan ke berbagai instansi keamanan, seperti Polda Sumbar, Komandan Denpom 1/4 Padang, Kapolresta Padang, dan Kapolsek Pauh.
Sebelumnya Zuldesni melaporkan Rektor Unand terkait pelelangan Rumah Negara yang dihuni bersangkutan. Pelelangan itu dianggap cacat hukum. Lelang non-eksekusi yang dilakukan Unand diduga dengan memalsukan dokumen.
Unand melelang 10 rumah negara yang berada di Limau Manis, Pauh, pada 21 Juli 2021 lalu. Salah satu rumah yang dilelang adalah rumah yang dihuni Zuldesni. Dalam dokumen lelang yang dikeluarkan Unand, tertulis rumah dalam kondisi rusak berat, bertipe A, dan dengan luas 80 M2.
Pada kenyataannya, terang Zuldesni, rumah negara yang 10 itu hanya 1 yang rusak. Lainnya masih layak huni karena penghuninya baru diminta keluar sekitar dua bulan lalu. Para penghuni senantiasa memperbaiki dan mempercantik rumah mereka.
“Jadi tidak benar rumah dalam kondisi rusak berat. Lihatlah foto-foto rumah sebelum dirubuhkan oleh lelang itu, masih sangat layak dan bagus. Bahkan ada dua rumah siap diperbaiki tahun 2018 lalu, dan belum ditempati sama sekali. Itu rumah Blok C27 dan C28 itu,” papar Zuldesni.
Ia menyebutkan, persoalan lainnya adalah soal tipe dan luas rumah negara. Dalam dokumen lelang disebutkan rumah negara tipe A dengan luas 80 M2. Padahal dalam peratuan kementerian soal rumah negara, tak ada rumah bertipe A dengan luas begitu. Tipe A rumahnya berluas 250 M2 dan biasanya ditempati para pejabat eselon 1 seperti rektor atau dirjen. Tapi yang dirubuhkan rumah negara tipe C dengan luas 70 M2.
Informasi Zuldesni ini dibenarkan penghuni lain, Zulsafni, mantan pegawai bagian aset Unand. “Tidak ada 10 buah rumah negara bertipe A itu di Unand, bahkan rumah dinas rektor cuma satu. Jadi Unand dan pemenang lelang itu salah objek perubuhan,” tegas Zulsafni.
Sebelumnya pimpinan Unand telah berusaha mengeluarkan Zuldesni dengan berbagai cara. Yang bersangkutan bahkan diancam dengan pemutusan listrik, air, dan dilaporkan balik ke pihak berwajib oleh Wakil Rektor II Unand sebagaimana ditulis dalam suratnya bernomor B-190/UN16.WR2/BMN/2021 tertanggal 24 September 2021. Sementara yang lain diancam dengan disiplin pegawai. Tapi Zuldesni dan warga lain bergeming.
“Kami warga saat ini tengah menguji keabsahan pengusiran kami ke PTUN Padang, dan Pengadilan Negari Padang. Kenapa Pak Rektor dan jajarannya tak mau menghargai proses hukum. Apakah Unand berada di atas UU dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?” kata Yudhi penghuni lain.
Zuldesni dan warga telah berupaya mencari solusi dengan mengajak Rektor dan jajarannya berembuk dengan melibatkan kuasa hukum mereka. Tapi pihak rektorat menolak, dan menganggap ini masalah internal Unand. Bahkan bersama warga lain Zuldesni telah meminta bantuan LBH Padang, Komnas HAM, Ombudsman, pimpinan DPRD Sumatera Barat, dan para aktivis yang senantiasa berjuang untuk keadilan. “Jawabannya tidak memuaskan, dan cenderung mengelak karena mereka sebagian alumni atau kenal dengan Rektor,” terang Zuldesni diamini warga lain.
“Saat ini kami merasa sendiri. Tak ada secercah apapun harapan kami dan warga dari lembaga atau orang-orang yang katanya memperjuangkan keadilan. Beginilah rasanya kalau kita mencari keadilan di hadapan orang yang memposisikan dirinya sebagai penguasa. Bagaimana Rektor sebagai pejabat negara melakukan somasi kepada kami yang rakyat kecil ini? Kami sekarang berpasrah saja ke Allah, dan bantuan Pak Ali kuasa kami itu,” lirih Zuldesni sedih diamini warga.
Saat ini warga tengah memperkarakan Keputusan Rektor Unand yang mengusir warga keluar ke PTUN Padang. Selain itu Kuasa Hukum Warga, Ali Syamiarta, pun telah mengajukan gugatan perdata ke PN Padang dengan nomor perkara 133/Pdt.G/2021/PN.Pdg.
“Saya dan kuasa hukum tergugat sedang dalam proses mediasi perdamaian. Tapi kok Rektor dan jajarannya main keras saja. Ada apa ini? Sabar saja menunggu proses mediasi itu, atau Rektor tak percaya pada kuasa hukumnya sendiri?” sindir Ali Syamiarta yang menyayangkan surat terakhir yang dikirim ke kliennya. (*/rdr)