Pola bisnis kacau
Direct dan organic traffic memang sama penting, tapi lebih bagus jika seimbang karena dengan cara itu media bisa lebih menjaga kualitas produk tanpa mengganggu profitabilitas finansial media itu.
Tapi untuk sampai ke level itu, butuh infrastruktur teknologi, sistem pemasaran, dan struktur keuangan yang kuat. Masalahnya, tak banyak media yang memiliki modalitas seperti ini.
Sebaliknya, keterbatasan modalitas membuat media menjadi pragmatis dengan menuruti “diktasi” algoritma yang salah satu akibatnya mendorong media kian sering menghasilkan konten-konten clickbait, entah teks, audio, atau video.
Ini persoalan besar media, tapi media tak bisa mengatasinya sendirian, karena tak ada yang bisa mendesak Google, TikTok, Meta, dan lainnya untuk membuka algoritma mereka.
Yang bisa dilakukan media hanyalah menaksir pola pencarian internet dengan optimalisasi mesin pencari (SEO).
Di sisi lain, mesin pencari dan media sosial telah mengacaukan pola bisnis media. Mereka mendapatkan konten dari media, tapi media tak mendapatkan keuntungan finansial signifikan dari mereka.
Inilah hal yang dikritik oleh banyak kalangan di beberapa negara, termasuk di Australia.
Pada 2021, Australia membuat terobosan dengan mensahkan undang-undang yang mewajibkan perusahaan-perusahaan mesin pencari dan media sosial membayar fee kepada perusahaan media untuk setiap konten yang mereka gunakan.
Awalnya, prakarsa ini ditentang, terutama oleh perusahaan-perusahaan raksasa teknologi (Big Tech), seperti Meta yang menjadi perusahaan induk Facebook dan Alphabet Inc yang beranak perusahaan Google. Namun, UU itu akhirnya mulus dipraktikkan di Australia.
Ternyata, menurut Profesor Rod Sims dari Australian National University dalam Los Angeles Times pada 7 Uni 2023, setelah dua tahun menerapkan UU itu, perusahaan-perusahaan media Australia mendapatkan tambahan pemasukan 140 juta dolar AS (Rp2,16 triliun) per tahun yang cukup untuk membuka rekrutmen wartawan baru dalam jumlah besar.
Perlindungan lengkap
Cara Australia bisa ditiru oleh siapa pun, termasuk Indonesia, tapi tantangan media yang kian pelik setelah kehadiran AI, membuat perlindungan tak cukup dengan mengharuskan Big Tech membayar fee kepada perusahaan media.
Kini semua pihak perlu mencari dan menyiapkan cara menyiasati invasi AI yang diyakini akan kian luas.
Sejumlah media menyiasatinya dengan membuat panduan etik untuk penggunaan AI seperti ditempuh Associated Press dengan menerbitkan pedoman AI.
Associated Press menyatakan tool AI tak bisa digunakan untuk membuat konten tersiar, namun kantor berita Amerika Serikat itu menganjurkan wartawan-wartawannya mengakrabi AI.
Langkah menghadapi invasi AI juga bisa dilakukan oleh negara. Saat ini sejumlah negara telah dan tengah membangun benteng hukum dan etika yang tak hanya melindungi jurnalisme, tapi juga banyak aspek kehidupan.
Intinya, tantangan media yang kian berat membutuhkan pedoman internal, dan proteksi eksternal dari sistem kebijakan.
Perlindungan internal bisa dilakukan dengan cara seperti diadopsi AP, sedangkan perlindungan eksternal bisa ditempuh dengan merangkul cara Australia atau panduan legal yang dibuat Uni Eropa.
Perlindungan ini di antaranya demi menyediakan ruang lapang bagi media untuk berkreasi dalam menjaga kualitas produk yang antara lain penting dalam memerangi hoaks dan disinformasi. (rdr/ant)