Diagnosis PAK ini mempunyai aspek medis, aspek komunitas dan aspek legal. Tujuan melakukan diagnosis akibat kerja ini adalah menjadi dasar terapi/tatalaksana, membatasi kecacatan dan mencegah kematian, melindungi pekerja lain, dan yang lebih penting adalah untuk memenuhi hak pekerja.
Untuk ciri-ciri dari PAK ini, adanya hubungan antara pekerjaan yang spesifik dengan penyakit. “Contohnya, pajanan atau paparan asbes menyebabkan penyakit asbestosis, angka kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi dari pada masyarakat umum, dan berhubungan dengan proses kerja atau lingkungan kerja,” ujarnya.
Selain memaparkan tentang program MCU dan PAK, pada kesempatan itu dokter Nia juga menyampaikan tentang layanan penilaian fit untuk bekerja, penilaian kembali kerja atau return to work (RTW) dan juga penilaian kecacatan yang juga merupakan bagian dari PRONAKER RS Naili DBS.
Sementara itu, perwakilan BPJS Ketenagakerjaan, Dewi Nasti Novriani, menyampaikan bahwa RS Naili DBS merupakan rumah sakit di Kota Padang yang menjadi pusat layanan kecelakaan kerja yang terintegrasi.
Pada kesempatan itu, Dewi pun memaparkan tentang program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Kecelakaan kerja, kata dia, adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, serta penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
“Dalam ketentuannya, suatu kasus dinyatakan sebagai kasus kecelakaan kerja apabila terdapat unsur ruda paksa, yaitu cedera pada tubuh manusia akibat suatu peristiwa atau kejadian seperti terjatuh, terpukul, tertabrak dan lain-lain,” katanya.
Bagi peserta program JKK, ada banyak manfaat yang didapat dari kecelakaan kerja. Di antaranya, biaya perawatan dan pengobatan sesuai kebutuhan medisnya (unlimited), serta santunan Sementara Tidak Mampu Kerja (STMB).
Untuk santunan STMB ini, diberikan santunan 100 persen upah/gaji yang diterimanya sebagai karyawan. Santunan ini diberikan dan untuk 6 bulan pertama dan 6 bulan kedua.
Kemudian setelah 6 bulan kedua, peserta program JKK akan mendapat santunan 50 persen dari upah/gaji sebagai karyawan.
“Nah, bagaimana dengan peserta JKK yang mengalami cacat fungsi akibat kecelakaan kerja? Tentunya mereka akan mendapatkan santunan sesuai dengan tingkat kecatatan yang dialaminya,” ujar Dewi.
Selain cacat fungsi, peserta cacat tetap juga mendapatkan santunan yang terdiri dari 70 persen gaji dikali 80 bulan upah, santunan berkala sebesar Rp12 juta, dan mendapatkan beasiswa anak peserta.
“Hak yang sama juga didapat peserta JKK yang meninggal dunia. Bedanya, santunan sekaligus yang diterima hanya 60 persen gaji dikali 80 bulan upah, ditambahan biaya pemakaman sebesar Rp3 juta,” katanya.
BPJS Ketenagakerjaan, tambah Dewi, tidak memberikan jaminan kepada peserta JKK yang mengalalami penyakit akibat hubungan kerja, yaitu penyakit yang dicetuskan, dipermudah atau diperberat oleh pekerjaan seperti stroke.
Dan, BPJS ketenagakerjaan juga tidak memberikan jaminan kepada peserta JKK yang bunuh diri, dan sengaja mencelakakan diri sendiri.
“Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga tidak memberikan jaminan atau pelayanan kesehatan, kecacatan dan juga jaminan kepada peserta JKK yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja atau PAK, serta tidak menjamin pengobatan dan tindakan yang dilakukan tanpa rekomendasi dari dokter,” ujarnya.
Kegiatan sosialisasi PRONAKER yang ditaja RS Naili DBS itu diikuti serius para peserta. Dan itu, dapat terlihat dari antusiasnya peserta untuk menyampaikan sejumlah pertanyaan kepada narasumber.
Dr. Andy Riva Dana mengatakan bahwa setiap tahun ada 2,4 juta kematian pekerja di seluruh dunia dikarenakan Penyakit Akibat kerja dan 400 ribu kematian yg disebabkan kecelakaan kerja. Artinya 84 % kematian pekerja disebabkan oleh penyakit.
Berdasarkan keprihatinan inilah maka diperlukan upaya upaya untuk menjaga kondisi kesehatan pekerja dan memantau kesehatan pekerja. Salah satunya melalui pemeriksaan medical check up yang baik,efisien dan digital.
“Ini saya sampaikan, karena lebih dari 90 persen perusahaan yang melaksanakan MCU, tidak melaksanakan MCU secara holistik atau menyeluruh. Kemudian, 80-90 persen perusahaan mengalami pemborosan anggaran medical check.”
“Karena pemeriksaan yang dilakukan manual tanpa sistem, sehingga hasilnya rentan akan error , ditambah lagi masih mengandalkan kertas print, tidak berbasis risiko kerja dan hanya fokus pada On Eventnya saja,” padahal sekarang kita sudah berada pada era 5.0 katanya. (rdr)
Komentar