JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menyatakan bahwa bantuan sosial (bansos) tidak boleh hanya berhenti sebagai bantalan sosial atau ekonomi, tetapi mesti bisa memberdayakan masyarakat dan membuat mereka mandiri.
“Ombudsman melihat dari sisi tata kelola, bansos ini harus diakui banyak manfaatnya dan terasa di lapangan, baik untuk jangka pendek sebagai bantalan sosial penahan guncangan risiko sosial dan ekonomi, maupun jangka panjang untuk kerangka pemberdayaan,” kata Robert di kantor Ombudsman, Jakarta, pada Kamis.
Menurutnya, bansos bukan sekadar bantuan sosial-ekonomi, melainkan harus memiliki visi transformatif seperti cita-cita pemerintah, khususnya Kementerian Sosial untuk meluluskan (graduasi) penerima bansos.
“Kita mesti melihat bahwa ini bukan sekadar bantuan dan bagi-bagi uang, karena selama ini (penerima bansos) belum terlihat kemandiriannya, maka tidak heran kalau ada keluarga penerima manfaat (KPM) sejak 2007 sampai sekarang masih berstatus sebagai penerima program keluarga harapan (PKH),” ujar dia.
Ia menambahkan, tahapan graduasi kepesertaan bansos juga masih perlu dibenahi, agar terintegrasi dengan program-program lain di Kemensos, misalnya program inklusi keuangan.
“Jadi memang perlu ada suatu cara untuk mengintegrasikan bansos dengan program-program lain sehingga visi pemberdayaan itu muncul. Bansos itu bukan sesuatu yang eksklusif dan jalan sendiri sehingga muncul persepsi bahwa ini hanya bagi-bagi uang, atau Kemensos sekadar juru bayar saja,” ucapnya.
Ia mengemukakan bahwa bansos mesti dibenahi pada setiap tingkatan. Ombudsman selama ini mencoba membagi empat tahapan evaluasi sampai orang dinyatakan layak menerima atau tidak bansos tersebut.
“Pertama, sejak tahapan pengusulan di tingkat desa, kemudian di tingkat verifikasi dan validasi di kabupaten/kota lewat dinas sosial, lalu pemutakhiran dan pengesahan, dan ujungnya tentu penyaluran atau distribusi uangnya,” ucap Robert.
Pada tingkat pengusulan, menurutnya, mekanisme musyawarah desa atau kelurahan (musdes/muskel) dinilai tidak cukup efektif untuk mengajukan nama-nama penerima bansos.
“Ombudsman kemudian berpikir, kalau seperti ini, bersandar pada basis, kami berpikir harus ada terobosan, karena musdes dan muskel ini tidak efektif. Maka harus ada akuntabilitas di tingkat desa untuk memastikan bahwa nama-nama yang diusulkan adalah yang berhak dan memang eligible,” katanya.
Untuk itu, sambung dia, perlu ada surat tanggung jawab mutlak kepala desa atau lurah, yang harus menandatangani dan terikat secara administrasi bahkan pidana apabila kades atau lurah tidak akuntabel dalam memasukkan nama-nama.
Kedua, verifikasi dan validasi (verval) di dinas sosial yang selama ini hanya berbasis administrasi dokumen juga mesti dibenahi menjadi verval yang berbasis fakta lapangan.
“Mekanisme seperti apa sampai nama bisa masuk menjadi penerima bansos itu bagaimana ceritanya? Lalu selama ini kita hanya bersandar pada verifikator desa, yang ini tidak semua punya kemampuan atau kompetensi” ujarnya.
Ketiga, yakni pemutakhiran dan pengesahan yang juga perlu diperbarui. Sedangkan yang keempat, yakni dari segi tingkat penyaluran, menurutnya sudah semakin bagus.
“Penyaluran sudah sangat bagus ya, terutama karena dua hal, karena sekarang berbasis pada transfer, dan karena peran kantor pos, jadi kalau selama ini bank-bank Himbara kesulitan menyediakan data-data di perbankan, bahkan kalau ada rekening kolektif tidak bisa, kantor pos kemudian membantu melihat apakah data-data yang diberikan sudah valid,” tuturnya. (rdr/ant)
Komentar