Kebijakan Publik Berperan Besar Atasi Ketimpangan Ekonomi

Ada sumber yang menyebutkan empat orang kaya di Indonesia ini setara dengan kekayaan 100 juta penduduk Indonesia.

MATARAM, RADARSUMBAR.COM – Ketimpangan ekonomi bukan hanya masalah distribusi pendapatan tetapi juga masalah akses ke peluang ekonomi.

Hal tersebut dibahas dalam Forum Diskusi Publik bertajuk ‘Kebijakan Publik untuk Mengurangi Ketimpangan Ekonomi’ yang dilaksanakan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Anggota Komisi I DPR RI, Helmy Faishal Zaini mengatakan, pada tahun politik ini merupakan kesempatan seluruh masyarakat untuk mengisi ruang-ruang publik untuk mendiskusikan sekaligus menentukan arah politik.

Sehingga, katanya, pemilu sebagai sebuah sirkulasi dari kepemimpinan nasional dapat membentuk satu harapan sesuai dengan cita-cita di masa yang akan datang.

“Kita kalau melihat capture situasi ekonomi kita sangat timpang. Ada sumber yang menyebutkan empat orang kaya di Indonesia ini setara dengan kekayaan 100 juta penduduk Indonesia,” katanya, Kamis (18/1/2024).

Situasi tersebut, kata Helmy, diperburuk dengan dari dana yang berputar di Indonesia itu 80 persen berada di Jakarta.

“Sehingga lahirlah kebijakan desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah dan tentu banyak sekali dilakukan transformasi di dalam tata kelola pemerintahan,” katanya.

Munculnya program dana desa, katanya, merupakan wujud dari desentralisasi. Karena semakin banyak dana yang dikelola oleh unit pemerintahan paling kecil maka bisa tercermin indikasi bahwa daerah itu ikut terbangun.

“Karena cermin dari pemerintah kita adalah pemerintah di tingkat desa
Pada tahun 2009-2014 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan tugas kepada saya untuk menjadi Menteri PDT, salah satu daerah yang paling sering saya kunjungi itu adalah NTB,” katanya.

Saat itu, kata Helmy, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB berada di urutan ketiga atau keempat paling bawah.

“Karena pembentuk IPM itu ada 3, yaitu faktor pendidikan yang dilihat dari usia rata-rata lama sekolah, faktor kedua adalah kesehatan seperti angka kematian ibu melahirkan. Jika angka kematian ibu melahirkan sangat tinggi, itu artinya daerah itu masih sangat tertinggal. Ketiga adalah indeks pendapatan perkapita masyarakat,” katanya.

Jika dalam satu daerah indeks pendidikan, kesehatan dan pendapatan ekonominya itu rendah, kata Helmy, suatu daerah itu bisa dikatakan sangat tertinggal dan sangat miskin.

“Penyebab ketertinggalan itu lebih banyak di faktor pendidikan,” katanya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Prof Riduan Mas’ud mengatakan, Indonesia berada pada urutan keempat sebagai negara yang mengalami ketimpangan ekonomi setelah Rusia, India, Thailand.

“Contoh kasusnya adalah di Indonesia itu hanya beberapa orang saja yang menguasai 20 juta hektar tanah,” katanya.

Kondisi tersebut, katanya, tidak bisa terus menerus terjadi. Pasalnya, fenomena tersebut akan menjadi letupan yang tidak terduga ke depan karena ketimpangan ini sudah sangat luar biasa

“Gross National Income (GNI) kita itu baru 4.600 USD, Malaysia 11.300 USD. Jauh sekali bedanya. 80 persen uang beredar di Ibukota Jakarta. Ketika menabung di Bank Nasional, begitu menabung dan dienter, sudah masuk server di Jakarta apapun bentuk transaksinya,” katanya.

Dirinya mengusulkan sebuah konsep untuk dilakukan agar uang yang masuk ke bank Nasional tidak hanya beredar di Jakarta yaitu adanya sebuah konsep membangun ekosistem keuangan digital daerah.

“Maka yang perlu dibangun adalah Keuangan Digital Syariah Daerah. Mengapa syariah? Karena wilayah NTB ini notabene adalah syariah,” katanya.

Agar ekosistem keuangan syariah digital terbangun dan uang tidak berpindah ke pusat, maka perlu infrastruktur yang bisa konek ke Bank NTBS.

“Apa itu? Ada BMT, ada BPR Syariah, ada Koperasi Syariah ataupun pondok-pondok pesantren,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Asisten Administrasi dan Umum Sekretariat Daerah (Setda) NTB, Wirawan mengatakan, wilayah tersebut telah mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dari tahun 2005 hingga 2025 yang dilaksanakan dalam empat fase.

“Periode 2005-2009 di bawah pimpinan Lalu Serinata. Visi beliau adalah gerbang emas. Prioritasnya adalah bagaimana mengangkat Sumber Daya Manusia (SDM) kami yang ditandai dengan meningkatnya IPM NTB,” katanya.

Kemudian, tahun 2009-2013 visinya bersaing. Masih dengan konteksnya IPM, namun Wirawan mengatakan bahwa NTB mendeklarasikan tetapi kita untuk menjadi provinsi yang bersaing dengan provinsi lain terutama dalam hal meningkatkan investasi yang ditandai dengan nilai indeks daerah kita yang kita harapkan meningkat

“Tahun 2013-2018 NTB Bersaing dan Berbudaya. Tahun 2018-2023 NTB Gemilang. Pertanyaannya adalah, dalam konteks dokumen formil Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD),” katanya.

“Karena akhir RPJMD 2018-2023 sudah habis, maka sekarang apakah yang menjadi rujukan bagi pejabat gubernur yang terpilih dalam menyelenggarakan pemerintahan ini terutama di tahun 2024 dan juga nanti 2025,” katanya.

Untuk mengisi kekosongan kebijakan perencanaan jangka menengah itu, katanya, pemerintah pusat mengeluarkan instruksi dimana seluruh daerah yang mengalami masa transisi seperti NTB diwajibkan membuat yang namanya dokumen Rencana Pembangunan Daerah (RPD).

“Visi ekonomi di masa transisi ini adalah mewujudkan NTB yang maju dan melaju. Kami ingin pertumbuhan ekonomi yang terjadi di NTB itu terus tumbuh secara berkelanjutan,” katanya.

Wirawan mengatakan, Pemprov menginginkan masyarakat NTB terus meningkat pendapatan per kapitanya dari sekarang masih terkategori upper middle income menjadi masyarakat yang berpendapatan tinggi.

“Apa yang menjadi tema pertemuan ini yaitu kebijakan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi itu ternyata menjadi ultimate goals yang telah dilakukan dalam rencana pembangunan daerah tahun 2024-2026. Caranya adalah dengan mewujudkan ekonomi yang inklusif,” tuturnya. (rdr)

Exit mobile version