MATARAM, RADARSUMBAR.COM – Asisten Administrasi dan Umum Sekretariat Daerah (Setda) NTB, Wirawan mengatakan, kemiskinan masih menjadi salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh provinsi tersebut.
Hal tersebut disampaikannya dalam kegiatan Forum Diskusi Publik bertajuk ‘Kewirausahaan Sosial dan Dampaknya Dalam Mengatasi Kemiskinan’ yang dilaksanakan di Kota Mataram, NTB, Jumat (19/1/2024).
“Data menunjukkan bahwa angka kemiskinan di NTB masih sangat tinggi. Tahun 2023 rata-tata kemiskinan di NTB 13,85 persen, jadi masih jauh di atas rata-rata nasional yaitu 9,36 persen,” katanya.
Dalam konteks kemiskinan, katanya, NTB bisa dikatakan berkontribusi untuk menjadi faktor pemberat dalam rangka mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
“Kalau kami lihat daerah per daerah angka kemiskinan terkonsentrasi secara proporsional baik di Pulau Lombok maupun di Pulau Sumbawa,” katanya.
Daerah dengan angka kemiskinan paling tinggi di NTB, kata Wirawan adalah Kabupaten Lombok Utara (KLU), yaitu sebesar 25,8 persen.
“Artinya seperempat dari penduduk Lombok Utara terbelit persoalan kemiskinan, sehingga dalam konteks itu sampai saat ini KLU masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal di Indonesia,” katanya.
Sementara itu, angka kemiskinan di Kota Sumbawa Barat (KSB) itu masih bertahan di 12,92 persen.
Padahal dalam konteks pendapatan perkapita, katanya, KSB sudah termasuk kategori masyarakat berpenghasilan tinggi dan ekonomi yang juga tinggi.
“Bagaimana kami meng-compare angka pendapatan per kapita dengan angka kemiskinan, maka bisa kami ambil 1 kesimpulan bahwa memang pendapatan GNP atau PDB dibagi jumlah penduduk masih tinggi tetapi distribusinya belum merata. Artinya ada akumulasi sumber daya, ada akumulasi pendapatan yang tinggi,” katanya.
Sementara itu, Pengusaha Indah Purwanti Ningsih mengatakan, syarat menjadi negara maju salah satunya adalah minimal 12 persen penduduknya bekerja di sektor bisnis atau wirausaha, sedangkan Indonesia saat ini kita masih berada di 3,4 persen.
“Realitanya adalah lulusan sarjana itu 1,4 juta per tahun, sedangkan lapangan pekerjaan setiap tahunnya hanya sebanyak 141.000 per tahun. Lalu kemudian kemana sisa sarjana tersebut? Maka sebagian besar menjadi pengangguran,” katanya.
Pengangguran, kata Indah, memberikan kontribusi besar dalam kemiskinan di daerah.
“Solusinya apa? Solusinya yaitu jika memang lapangan pekerjaan terbatas, maka kita yang memberikan lapangan pekerjaan itu kepada orang lain melalui wirausaha,” katanya.
Indah mengatakan, dirinya mulai berbisnis sejak tahun 2012, dimana pada saat itu sangat sedikit orang yang memanfaatkan teknologi digital untuk menghasilkan sesuatu.
Namun sekarang, khususnya generasi Z yang paling mudah mencetak uang karena dekat dengan dunia digital dan media sosial (medsos).
“Saya memulai bisnis dari NOL pada tahun 2012. Saya dulunya adalah seorang karyawan Bank Syariah yang ada di Indonesia, setelah itu resign dan memilih untuk menjadi wirausaha,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi I DPR RI, Helmy Faishal Zaini mengatakan, pada tahun politik ini merupakan kesempatan seluruh masyarakat untuk mengisi ruang-ruang publik untuk mendiskusikan sekaligus menentukan arah politik.
Sehingga, katanya, pemilu sebagai sebuah sirkulasi dari kepemimpinan nasional dapat membentuk satu harapan sesuai dengan cita-cita di masa yang akan datang.
“Kita kalau melihat capture situasi ekonomi kita sangat timpang. Ada sumber yang menyebutkan empat orang kaya di Indonesia ini setara dengan kekayaan 100 juta penduduk Indonesia,” katanya.
Situasi tersebut, kata Helmy, diperburuk dengan dari dana yang berputar di Indonesia itu 80 persen berada di Jakarta.
“Sehingga lahirlah kebijakan desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah dan tentu banyak sekali dilakukan transformasi di dalam tata kelola pemerintahan,” katanya.
Munculnya program dana desa, katanya, merupakan wujud dari desentralisasi. Karena semakin banyak dana yang dikelola oleh unit pemerintahan paling kecil maka bisa tercermin indikasi bahwa daerah itu ikut terbangun.
“Karena cermin dari pemerintah kita adalah pemerintah di tingkat desa
Pada tahun 2009-2014 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan tugas kepada saya untuk menjadi Menteri PDT, salah satu daerah yang paling sering saya kunjungi itu adalah NTB,” katanya.
Saat itu, kata Helmy, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB berada di urutan ketiga atau keempat paling bawah.
“Karena pembentuk IPM itu ada 3, yaitu faktor pendidikan yang dilihat dari usia rata-rata lama sekolah, faktor kedua adalah kesehatan seperti angka kematian ibu melahirkan. Jika angka kematian ibu melahirkan sangat tinggi, itu artinya daerah itu masih sangat tertinggal. Ketiga adalah indeks pendapatan perkapita masyarakat,” katanya.
Jika dalam satu daerah indeks pendidikan, kesehatan dan pendapatan ekonominya itu rendah, kata Helmy, suatu daerah itu bisa dikatakan sangat tertinggal dan sangat miskin.
“Penyebab ketertinggalan itu lebih banyak di faktor pendidikan,” tuturnya. (rdr)
Komentar