Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengupas realitas pahit yang dihadapi perempuan dalam dunia politik Indonesia. Hambatan, baik dari sisi budaya patriarki maupun regulasi, masih membatasi ruang gerak perempuan.
“Di ranah politik, marginalisasi menjadi kenyataan pahit. Perempuan berjuang sendiri, tanpa pendampingan memadai dari partai politik.”
“Kekerasan, tak hanya fisik, tapi juga non-fisik, seperti komentar seksis dan bully di media sosial. Itu menjadi momok menakutkan bagi perempuan yang berani terjun ke dunia politik,” katanya.
Menanggapi kontestasi Pemilu 2024 ini, ia juga menilai regulasi yang ada tidak selalu membantu. Justru, regulasi baru pada pemilu kali ini dikhawatirkan semakin memperkecil peluang perempuan untuk terpilih.
Namun, dirinya tetap optimis dengan komitmen bersama dari berbagai pihak, bukan tidak mungkin untuk mewujudkan politik yang inklusif dan berkeadilan, di mana perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan membawa perubahan bagi bangsa.
Sedangkan Ketua Presidum Kaukus Perempuan Parlemen RI, Diah Pitaloka, menilai kehadiran perempuan dalam politik membawa warna dan paradigma baru.
Perempuan memiliki kemampuan dan perspektif yang berbeda dari laki-laki, dan ini dapat memperkaya proses pembuatan kebijakan dan menghasilkan kebijakan yang lebih komprehensif dan berpihak pada rakyat.
“Kultur politik yang mendukung harus dibangun. Jika ada kandidat perempuan yang bisa didukung, jangan ragu.”
“Karena tidak sedikit dalam diri perempuan sendiri yang terkadang masih ragu menghadapi kultur patriarki yang kuat di politik,” harap Diah.
Pemilu 2024 adalah momentum bagi perempuan untuk menunjukkan eksistensi dan kualitasnya dalam politik.
Dengan begitu, Indonesia akan memiliki parlemen yang lebih representatif dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat, khususnya perempuan. (rdr)