Berkat Beasiswa Semen Padang, Siska Mampu Jadi Pambangkik Batang Tarandam

Pejabat perusahaan listrik di Prancis asal Kabupaten Solok bersama suami dan anak.

PADANG, RADARSUMBAR.COM – Meski sering kali dicemooh karena kondisi ekonomi keluarga, tidak membuat Siska Hamdani menyerah. Anak penjahit pakaian itu berhasil mengubah nasibnya. Ia menapak tangga sukses dengan menyelesaikan PhD dan menjadi pejabat di perusahaan EDF (Électricité de France S.A) sebuah perusahaan utilitas listrik Prancis (semacam BUMN). Berikut succses story Siska Hamdani.

Pada medio 2000-an awal, Siska Hamdani bukan siapa-siapa. Wanita asal Nagari Guguk, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat itu hanya seorang mahasiswi berprestasi di Akademi Teknologi Industri Padang (ATIP) yang mendapatkan beasiswa semester gratis dari Bumi Asih, karena meraih nilai IP rata-rata 3,98-4.0. Bahkan berkat kecerdasan yang dimilikinya, ia pun berhasil menamatkan kuliah dalam waktu 2,5 tahun dari rata-rata masa kuliah di ATIP 4 tahun.

Dihubungi terpisah Yulizar, ayah dari Siska, mengaku bersyukur dan bangga atas kesuksesan anak sulungnya itu. Ia dan istrinya sempat melarang Siska untuk melanjutkan kuliah ke Prancis, karena penghasilan Siska saat bekerja di perusahaan Amerika setelah lulus dari UGM sangat besar, sekitar 1000 US Dollar. Ditambah lagi Siska yang saat itu masih berstatus lajang, tentunya sebagai orangtua ia dan istrinya khawatir membiarkan anaknya seorang diri terpisah jauh di eropa.

“Karena Siska tetap gigih pada pendiriannya, saya dan mamanya merestui keingingan Siska untuk kuliah di Prancis,” kata Yulizar.

Diaa mengungkapkan, awalnya terasa berat melepas Siska kuliah ke Prancis, namun karena tekad anaknya itu untuk melanjutkan pendidikan sangat kuat, mau tidak mau ia sebagai orangtua tentu harus memberikan izin. “Apalagi ini untuk masa depannya Siska. Karena bagi saya sebagai orangtua, kami tidak ingin anak-anak hidup susah. Cukup kami sebagai orangtua yang merasakannya,” tutur Yulizar seraya mengungkapkan mamanya Siska sudah almarhum, beliau meninggal karena sakit pada tahun 2012 silam.

Kesuksesan yang diraih Siska kini turut dirasakan oleh keluarganya di kampung. Bahkan, Siska pun juga telah memberangkatkan kedua orangtuanya naik Haji ke Mekkah pada tahun 2010 dan juga ikut membantu membiayai kuliah adik bungsunya bernama Andam Sari (27) di UGM. Ibaratnya, Siska ini pambangkik batang tarandam (membangkitkan marwah/kehormatan) di keluarga.

“Karena berkat kerja kerasnya, adiknya juga bisa kuliah ke UGM. Alhamdulillah juga memberangkatkan saya pergi Haji. Bahkan, Siska juga meronvasi rumah di kampung,” tutup Yulizar.

Saat ini, Siska tinggal Kota Versailles, dekat Paris, Prancis, dan telah menikah dengan ahli IT di perusahaan Saint Gobain untuk Aerospace, dan juga seorang muallaf berkebanggsaan Prancis bernama Jerome pada Desember tahun 2009 di kampung halamannya Nagari Guguk, Kabupaten Solok.

Dari pernikahannya, Siska-Jerome dikaruniai dua orang anak yang masing-masing bernama Sileana Nilam (9 tahun), dan Emili Intan (2,5 tahun). Meski sudah belasan tahun di Prancis, Siska pun hingga kini masih tetap berstatus sebagai warga kebangsaan Indonesia (WNI).

“Sampai sekarang ini saya masih megang paspor hijau. Meski lama di Prancis dan anak saya juga sudah sekolah di Prancis, sampai sekarang tidak terpikir untuk menjadi warga negara Prancis, karena kalau menjadi warga negara Prancis, status sebagai WNI akan hilang. Tapi sebaliknya, di Prancis ini seorang WNI tidak akan berpengaruh kalau lama-lama menetap di Prancis.”

“Saya di Prancis bayar pajak, dan saya juga punya kartu residence Prancis yang masa berlakunya 10 tahun. Kemudian, juga aneh rasanya kalau kita pulang kampung ke Indonesia, tapi minta visa,” ujarnya.

Kemudian ketika ditanya apakah pihak Indonesia pernah menawarkan untuk pulang ke Indonesia dan dijanjikan pekerjaan, Siska pun mengatakan bahwa sudah ada beberapa kali tawaran menjadi dosen, yaitu dari Universitas Bina Nusantara (BINUS) dan UGM. Di BINUS, tawaran tersebut langsung datang dari Rektornya. “Sedangkan di UGM, tawaran itu dari pembibing saya waktu kuliah di UGM. Namun karena saya punya penyakit autoimun sejak 2006, makanya tawaran itu saya tolak,” katanya.

Selain autoimun, sebut Siska, matanya juga sudah rabun. Bahkan kalau pulang kampung, dia pun kadang dibilang sombong, padahal dirinya tidak bisa melihat orang dengan jelas, kecuali jarak dekat, misalnya sekitar 10-15 meter. Kalau lebih dari itu, agak samar pandangannya. Biaya pengobatan di Indonesia juga mahal. Sedangkan di Prancis, biaya medical ditanggung pemerintah.

Di akhir percakapan via whatsapp, Siska pun menitip pesan kepada anak-anak Sumbar dan para penerima beasiswa dari PT Semen Padang khususnya, bahwa kesuksesan yang diraih saat ini, tidak terlepas dukungan banyak pihak dan doa dari orangtua.

“Teruslah rajin, giat belajar dan kejar cita-cita mu. Jangan pernah menyerah dan tidak usah dihiraukan apapun ocehan dan celaaan orang lain terhadap diri mu, karena sesungguhnya saingan terberat itu adalah diri mu sendiri. Saya harap, pesan ini dapat memotivasi adik-adik saya yang mendapatkan beasiswa dari PT Semen Padang,” katanya. (rdr)

Gabung WhatsApp Channel, Telegram Channel, dan follow juga Facebook, Instagram Radar Sumbar untuk update berita terbaru
Exit mobile version