JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Perusahaan Konsultan McKinsey & Co mendapuk China sebagai negara terkaya dunia, mengalahkan Amerika Serika (AS). China tercatat menggenggam satu per tiga kekayaan dunia atau setara US$120 triliun.
Padahal, setahun sebelum China masuk dalam organisasi perdagangan dunia (World Trade Organisation) pada 2000 lalu, kekayaan negeri tirai bambu tersebut hanya US$7 triliun saja. Sedangkan AS berhasil menggandakan kekayaannya untuk periode sama menjadi US$90 triliun. Di kedua negara, lebih dari dua per tiga kekayaannya dipegang oleh 10 persen rumah tangga yang kaya melintir dan kekayaan mereka terus meningkat.
Sedangkan secara global, kekayaan dunia mencapai US$514 triliun pada 2020, naik pesat dari catatan 2000 yang saat itu hanya senilai US$156 triliun. Laporan kekayaan dunia berasal dari neraca keuangan nasional 10 negara yang mewakili kekayaan 60 persen dunia. “Kita tidak pernah lebih kaya dari ini,” kata Jan Mischke dari McKinsey Global Institute seperti dikutip dari The Straits Times, Senin (15/11).
McKinsey mencatat 68 persen dari kekayaan bersih global disimpan dalam bentuk real estate. Neraca kekayaan negara dunia memperhitungkan aset fisik seperti infrastruktur, mesin dan peralatan. Selain itu juga dicatat kekayaan tak berwujud seperti kekayaan intelektual dan paten.
Sedangkan aset keuangan tidak dihitung dalam perhitungan kekayaan global karena secara efektif diimbangi dengan kewajiban. Menurut McKinsey, kenaikan tajam kekayaan bersih selama dua dekade terakhir melampaui peningkatan produk domestik bruto (PDB) global. Mereka makin tajir berkat kenaikan harga properti yang disokong oleh penurunan suku bunga.
Laporan menyebut bahwa harga aset mereka hampir 50 persen di atas rata-rata pendapatan jangka panjang. Hal itu menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan ledakan kekayaan. “Kekayaan bersih melalui kenaikan harga di atas dan di luar inflasi dipertanyakan dalam banyak hal. Kekayaan datang dengan segala macam efek samping,” terang Mischke.
Lonjakan nilai real estate membuat kepemilikan rumah tidak terjangkau bagi banyak orang dan meningkatkan risiko krisis keuangan seperti yang melanda AS pada 2008 setelah gelembung perumahan meledak. Dikhawatirkan China bakal mengalami masalah serupa terkait utang pengembang properti yang saat ini melanda China Evergrande Group dan kawan-kawan.
Resolusi yang ideal atau kekayaan yang ‘sehat’ berasal dari investasi yang lebih produktif yang memperluas PDB global, menurut laporan itu. Sebagai catatan, kekayaan yang tercatat tersebut bisa jadi runtuh bila harga properti turun dan menghapus sepertiga kekayaan global. (cnnindonesia.com)