Stagflasi lebih sulit “disembuhkan” ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja. Ketika inflasi tinggi, maka suku bunga akan dikerek naik.
Namun hal ini membawa risiko yakni pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat. Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi, yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah. Tetapi risikonya inflasi akan meningkat.
“Yang menarik, obat stagflasi paling mujarab adalah resesi. Satu-satunya obat untuk stagflasi adalah resesi,” kata Ekonom Senior di Perterson Institute for International Economics, David Wilcox, awal Juni lalu, sebagaimana dilansir The Washington Post, Sabtu (8/10/2022).
Ketika resesi terjadi, permintaan pun akan melambat dan perlahan-lahan menurunkan inflasi. Negara-negara Barat kini menjadi yang paling berisiko mengalami stagflasi.
Inflasi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Sedangkan di Zona Euro, yang terdiri dari 19 negara, inflasi bahkan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa.
Inflasi yang tinggi juga melanda belahan bumi lainnya. Australia misalnya, kemudian Singapura. Di Indonesia sejauh ini inflasi mulai merangkak naik meski bisa dikatakan masih terkendali.
Namun, patut menjadi perhatian bagaimana perkembangan inflasi ke depannya, apalagi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
Selain itu, bank sentral AS (The Fed) dan beberapa bank sentral lainnya pada akhir tahun lalu melihat inflasi tinggi hanya bersifat sementara, sehingga menunda pengetatan moneter guna meredam inflasi. Alhasil, inflasi malah terus meroket. (rdr/cnbc)