Kemudian, meja tenun dibuat sendiri oleh suaminya bernama Syami Usman Chaniago, yang memang berprofesi sebagai tukang kayu. Namun sayangnya, usahanya untuk mengembangkan bakatnya sempat jadi cemooh sejumlah orang.
Bahkan, ada yang menyebut dia gila, karena Unggan terisolir dan tidak ada orang yang akan membeli songketnya. Meski begitu, dia tak peduli. Dengan kerja keras, dia terus berusaha mengembangkan usaha kerajinan tenun.
Barulah pada tahun 2004, Yeni menyerah dan tak mampu untuk melanjutkan usaha kerajinannya. Penyebabnya, kata wanita yang akrab disapa Yeni itu, bukan karena cemoh orang-orang, tapi faktor buruknya akses jalan di Unggan.
“Saya tidak menyalahkan orang bilang saya gila, karena memang Unggan itu daerah terisolir dan paling ujung di Sijunjung. Akses jalannya buruk dan susah dilewati kendaraan.”
“Saya sering jatuh dari sepeda motor saat mau beli bahan tenun di Silungkang. Kadang-kadang, benang yang saya beli tadi juga ikut jatuh,” katanya.
“Ini baru soal akses jalan, belum lagi soal tidak adanya jaringan seluler yang membuat saya sulit untuk berkembang. Karena, jual tenun itu tidak bisa dari mulut ke mulut, harus kuat promosinya dan membangun jaringan.”
“Tentunya, membangun jaringan itu butuh komunikasi yang lancar, tentunya lewat sambungan telephone,” sambung Yeni.
Pada tahun 2005, katanya melanjutkan, dia kembali melanjutkan usaha kerajinan tenun. Selain untuk menambah pemasukan keluarga, upayanya untuk kembali memulai usaha kerajinan juga karena desakan sejumlah kaum perempuan di Unggan yang sebelumnya sempat dibinanya.
Perlahan tapi pasti, pada tahun 2007 usaha tenunnya mulai berkembang cukup baik berkat meng-inovasikan hasil tenun untuk bahan baju. “Kalau sebelumnya, saya hanya buat tenun untuk songket.”
“Alhamdulillah, pasar untuk baju ini sangat bagus, tidak hanya di Sijunjung saja, tapi juga meluas hingga ke berbagai daerah di Sumbar seperti Padang, Bukittinggi, Dharmasraya, Payakumbuh, serta beberapa kabupaten/kota lainnya di Sumbar. Permintaannya cukup banyak waktu itu,” bebernya. (rdr)