Indra Yeni, Merdekakan Kaum Perempuan Lewat Tenun

Pemilik Tenun Unggan Lansek Manih ini pun mampu memerdekakan sebagian kaum perempuan, khususnya di Nagari Unggan dan Sijunjung pada umumnya.

Indra Yeni dengan alat tenun miliknya

Indra Yeni dengan alat tenun miliknya

SIJUNJUNG, RADARSUMBAR.COM – Sekitar dua dekade silam, Indra Yeni bukan siapa-siapa. Dia hanya perempuan biasa yang menekuni usaha kerajinan tenun di kampung halamannya di Nagari Unggan, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung.

Namun siapa sangka, berkat kegigihannya, usaha tenunnya berkembang pesat bahkan merambah pasar Timur Tengah.

Tidak hanya itu, bahkan di tengah kesuksesannya, pemilik Tenun Unggan Lansek Manih ini pun mampu memerdekakan sebagian kaum perempuan, khususnya di Nagari Unggan dan Sijunjung pada umumnya.

Terlebih, Indra Yeni juga konsisten memberdayakan perempuan lewat usaha tenunnya. Termasuk, memberikan pelatihan tenun di beberapa daerah di Sijunjung.

“Saya memberdayakan perempuan melalui kerajinan tenun ini, agar mereka bisa merdeka untuk dirinya sendiri. Perempuan itu harus membantu keluarganya di segi pendapatan ekonomi.”

“Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga disebabkan faktor ekonomi yang tidak mencukupi,” kata Indra Yeni, saat ditemui di pusat pelatihan tenun songket tradisonal di Nagari Kamang, Kecamatan Kamang Baru, Sijunjung, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, selain kaum perempuan harus membantu ekonomi keluarganya, kaum perempuan harus mandiri dan jangan terus bergantung pada suaminya.

Karena, apabila kaum perempuan ditinggal pisah suaminya, baik karena perceraian maupun pisah karena sang suami sudah meninggal dunia, tentunya kaum perempuan akan kesulitan untuk penopang kehidupan selanjutnya. “Ini sudah banyak contohnya,” ujar Indra Yeni.

Indra Yeni menceritakan kisah suksesnya merintis usaha Tenun Unggan Lansek Manih yang dimulainya sejak 1994. Kata dia, satu tahun sebelumnya, dia pernah belajar menenun dengan orang Pandai Sikek yang tinggal di Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota.

Saat itu, Yeni masih tinggal bersama suaminya di Halaban. Tiga bulan belajar, pada tahun 1994 dia pun pindah kekampung halamannya di Nagari Unggan.

Di Unggan, sebutnya, dia pun mulai mengembangkan bakatnya dengan merintis usaha tenun dengan merek Tenun Unggan Lansek Manih. Dengan modal Rp950 ribu, dia pun membeli alat tenun bekas satu pasang.

Kemudian, meja tenun dibuat sendiri oleh suaminya bernama Syami Usman Chaniago, yang memang berprofesi sebagai tukang kayu. Namun sayangnya, usahanya untuk mengembangkan bakatnya sempat jadi cemooh sejumlah orang.

Bahkan, ada yang menyebut dia gila, karena Unggan terisolir dan tidak ada orang yang akan membeli songketnya. Meski begitu, dia tak peduli. Dengan kerja keras, dia terus berusaha mengembangkan usaha kerajinan tenun.

Barulah pada tahun 2004, Yeni menyerah dan tak mampu untuk melanjutkan usaha kerajinannya. Penyebabnya, kata wanita yang akrab disapa Yeni itu, bukan karena cemoh orang-orang, tapi faktor buruknya akses jalan di Unggan.

“Saya tidak menyalahkan orang bilang saya gila, karena memang Unggan itu daerah terisolir dan paling ujung di Sijunjung. Akses jalannya buruk dan susah dilewati kendaraan.”

“Saya sering jatuh dari sepeda motor saat mau beli bahan tenun di Silungkang. Kadang-kadang, benang yang saya beli tadi juga ikut jatuh,” katanya.

“Ini baru soal akses jalan, belum lagi soal tidak adanya jaringan seluler yang membuat saya sulit untuk berkembang. Karena, jual tenun itu tidak bisa dari mulut ke mulut, harus kuat promosinya dan membangun jaringan.”

“Tentunya, membangun jaringan itu butuh komunikasi yang lancar, tentunya lewat sambungan telephone,” sambung Yeni.

Pada tahun 2005, katanya melanjutkan, dia kembali melanjutkan usaha kerajinan tenun. Selain untuk menambah pemasukan keluarga, upayanya untuk kembali memulai usaha kerajinan juga karena desakan sejumlah kaum perempuan di Unggan yang sebelumnya sempat dibinanya.

Perlahan tapi pasti, pada tahun 2007 usaha tenunnya mulai berkembang cukup baik berkat meng-inovasikan hasil tenun untuk bahan baju. “Kalau sebelumnya, saya hanya buat tenun untuk songket.”

“Alhamdulillah, pasar untuk baju ini sangat bagus, tidak hanya di Sijunjung saja, tapi juga meluas hingga ke berbagai daerah di Sumbar seperti Padang, Bukittinggi, Dharmasraya, Payakumbuh, serta beberapa kabupaten/kota lainnya di Sumbar. Permintaannya cukup banyak waktu itu,” bebernya. (rdr)

Gabung WhatsApp Channel, Telegram Channel, dan follow juga Facebook, Instagram Radar Sumbar untuk update berita terbaru
Exit mobile version