Kaliandra Merah Bisa Jadi Bahan Bakar Alternatif

Kaliandra merupakan sumber energi bisa diperbaharui, sedangkan batubara adalah energi fosil yang semakin hari jumlahnya semakin menipis.

Penanaman kaliandra merah di halaman PPNP Limapuluh Kota. (Dok. Istimewa)

Penanaman kaliandra merah di halaman PPNP Limapuluh Kota. (Dok. Istimewa)

PADANG, RADARSUMBAR.COM – Kepala UPT Perbaikan dan Pemeliharaan PPNP, Auzia Asman sebut manfaat kayu kaliandra sebagai bahan bakar alternatif, juga menjadi peluang bagi dosen PPNP untuk melakukan penelitian tentang kayu kaliandra.

“Sedangkan untuk dharma pengabdian kepada masyarakat, PPNP tentunya bisa melibatkan masyarakat sebagai mitra atau afiliasi dalam mengembangkan bibit kaliandra,” bebernya.

Auzia juga memaparkan manfaat kaliandra merah. Pertama, berkaitan dengan isu energi terbarukan dan cadangan karbon. Karena, kayu kaliandra merupakan bahan biofuel yang bisa dijadikan sebagai bahan bakar alternatif pengganti batubara.

Sebab, kaliandra merupakan sumber energi bisa diperbaharui, sedangkan batubara adalah energi fosil yang semakin hari jumlahnya semakin menipis.

Bagi industri seperti PT Semen Padang yang memproduksi semen, kebutuhan kayu kaliandra sebagai energi baru terbarukan tentunya sangat besar jumlahnya.

Apalagi, pemanfaatan kaliandra ini juga berkaitan dengan carbon trading. Karena, dengan memanfaatkan kaliandra, PT Semen Padang bisa menyimpan, mengatur dan mengelola pelepasan karbon ke udara.

“Artinya, pemanfaatan kaliandra untuk mensubsitusi bahan bakar batubara dalam proses produksi semen oleh PT Semen Padang, dapat memperlambat pemanasan global. Karena, dengan memanfaatkan kayu kaliandra sebagai bahan bakar alternatif, akan menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah,” katanya.

Di samping sebagai energi terbarukan dan cadangan karbon, menanam kaliandra juga bisa memproduktifkan lahan-lahan marginal (lahan yang tidak produktif.

Sebab, kaliandra merah merupakan tanaman remidiasi atau tanaman yang mampu meningkatkan mutu dari kondisi tanah, sehingga lahan-lahan yang ditanami kaliandra secara bertahap dapat meningkat kesuburan tanahnya.

Kemudian, bunga kaliandra juga bermanfaat untuk beternak madu galo-galo. Karena, bunganya bisa dijadikan sebagai konsumsi lebah madu.

Sedangkan daunnya, juga bisa dijadikan pakan ternak dan bahan baku membuat kompos. Bahkan di Payakumbuh, ada pengusaha ternak ayam yang tertarik untuk menjadikan daun kaliandra sebagai bahan baku membuat pakan alternatif untuk ayam.

“Jadi, kalau kita memanfaatkan kaliandra untuk kebun galo-galo dan kita juga punya ternak sapi maupun kambing, maka potensi pemanfaatan kaliandra secara finansial akan semakin besar.”

“Apalagi, kalau nantinya daun kaliandra ternyata juga memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan baku untuk membuat pakan alternatif untuk ayam, tentu akan semakin besar lagi potensinya,” kata Auzia.

Potensi lainnya, sebut Auzia, adalah ranting kaliandra merah yang bisa dijadikan sebagai wood pellet yang merupakan komoditas ekspor ke negara empat musim.

Karena, wood pellet ini merupakan kebutuhan rumah tangga yang kegunaanya sebagai sumber energi penghangat tubuh bagi masyarakat yang berada di negara empat musim tersebut.

“Kalau pemanfaatannya sampai ke ranting, bunga dan daun, maka tidak akan ada lagi bagian dari kaliandra yang tidak bisa dimanfaatkan.”

“Untuk kayunya, bisa dijual ke Semen Padang sebagai bahan bakar alternatif yang dapat mensubstitusi bahan bakar batubara, bunganya untuk konsumsi madu, daunnya sebagai pakan ternak, dan rantingnya untuk dijadikan wood pellet,” ujarnya.

Selain bermanfaat bagi industri, Auzia pun juga mengatakan bahwa kayu kaliandra juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Apalagi, kalau nantinya sudah ada kompor modern yang bisa memanfaatkan kayu kaliandra untuk memasak. Tentunya, masyarakat tidak perlu lagi menggunakan gas.

“Dari testimoni masyarakat di Sungaipua dan Matur, mereka menyebut bahwa mereka telah memanfaatkan kayu kaliandra untuk memproduksi gula tebu.”

“Kata mereka, kalau pakai kayu kaliandra, apinya kuat dan asapnya minim. Apalagi, kalau kadar air kayunya kering, tentu pembakarannya semakin sempurna, dan asapnya juga semakin minim,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, Auzia mewakili PPNP juga mengajak agar masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar perhutanan sosial atau pun kelompok tani yang ada di Sumbar untuk dapat memanfaatkan kaliandra dalam meningkatkan ekonomi.

Apalagi, pemanfaatan kaliandra juga ditopang oleh kebutuhan PT Semen Padang terhadap kayu kaliandra dalam jumlah yang sangat besar.

Hal itu, dibuktikan dengan adanya kerjasama antara PT Semen Padang PPNP. Dimana, dalam kerjasama ini PT Semen Padang membutuhkan sekitar 100 juta bibit kaliandra untuk ditanam di lahan-lahan masyarakat, atau di sekitar perhutanan sosial.

Kemudian jika sudah waktunya untuk dipanen, PT Semen Padang siap untuk membeli kayu kaliandra dari masyarakat.

Di samping itu, memanfaatkan kaliandra juga dapat membangun kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Misalnya, terhadap kerusakan hutan akibat penebangan hutan secara liar.

Menurut Auzia, jika produksi kaliandra sudah bberjalan maka masyarakat, terutrama yang tinggal di sekitar perhutanan sosial, tidak akan berpikir lagi untuk melakukan penebangan hutan secara liar. Apalagi, kalau masyarakat itu sendiri punya lahan kaliandra.

“Anggaplah lahan masyarakat itu disebut sebagai kebun kaliandra, tentu masyarakat akan memanfaatkan kebun kaliandranya untuk beberapa usaha turunan kaliandra yang kalau tidak dikembangkan, maka masyarakat tersebut akan menjadi rugi.”

“Makanya, kami dari PPNP juga sepakat dengan Semen Padang untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan kaliandra,” katanya.

Auzia juga menyampaikan pola penanaman kaliandra. Untuk penanaman Kaliandra, dapat dilakukan dengan jarak tanam 1×2 meter hingga 1×1 meter paling rapat.

Untuk masa panen perdananya, dilakukan pada usia kaliandra 8-10 bulan. Sedangkan umur produksinya sampai 10 tahun, bahkan lebih.

“Artinya, dalam usia 10 tahun tersebut, masyarakat bisa panen kayu kaliandra setidaknya sekitar 15 kali,” ujarnya.

Untuk puncak produksinya, tambah Auzia, pada umumnya di usia 5-7 tahun dengan jumlah produksi 35-50 ton/ha. Sedangkan untuk panen perdana setelah ditanam, estimasi produksi terendahnya sekitar 15 ton/ha, tergantung faktor kesuburan tanahnya.

“Kalau kesuburan tanahnya sangat bagus, maka jumlah produksinya bisa lebih dari 15 ton/ha,” pungkas Auzia. (rdr)

Gabung WhatsApp Channel, Telegram Channel, dan follow juga Facebook, Instagram Radar Sumbar untuk update berita terbaru
Exit mobile version