JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Para ahli memperingatkan potensi ledakan besar akibat badai Matahari yang dapat membuat Bumi gelap gulita. Saat ini para ahli disebut sedang berjuang menemukan solusi memperkuat pertahanan bumi dari cuaca luar angkasa yang dapat mendatangkan malapetaka, seperti badai Matahari.
Dijelaskan Express, badai matahari terjadi karena ledakan energi elektromagnetik di permukaan Matahari. Fenomena ini dapat memberi dampak ke Bumi seperti peningkatan visibilitas aurora hingga frekuensi tertentu dari komunikasi radio yang terganggu selama beberapa jam.
Namun, di ujung spektrum yang ekstrem, badai Matahari yang kuat memiliki kemampuan memusnahkan satelit dan mengacaukan jaringan listrik di seluruh peta planet bumi. Ketika Peristiwa Carrington yang terkenal menghantam Bumi pada 1859, ledakan dahsyat plasma dan medan magnet dari Matahari disebut membuat tiang telegraf di Eropa dan Amerika Utara berpercik.
Sekarang ketika dunia mulai menghapus bahan bakar fosil untuk memilih listrik berbasis energi terbarukan, pemasangan lebih banyak jaringan listrik menjadi lebih penting dari sebelumnya. David Wallace, Asisten Profesor Klinis Teknik Elektro, Universitas Negeri Mississippi sebelumnya memperingatkan jika badai geomagnetik seperti Peristiwa Carrington menghantam Bumi hari ini, hasilnya bisa menjadi ‘bencana’.
Wallace mengungkap dengan ketergantungan yang terus tumbuh pada listrik dan teknologi yang muncul, gangguan apa pun dapat menyebabkan kerugian besar dan moneter serta risiko kehidupan yang bergantung pada sistem.
“Badai akan memengaruhi sebagian besar sistem kelistrikan yang digunakan orang setiap hari. Badai geomagnetik menghasilkan arus induksi, yang mengalir melalui jaringan listrik,” kata Wallace.
“Arus yang diinduksi secara geomagnetik, yang bisa melebihi 100 ampere, mengalir ke komponen listrik yang terhubung ke jaringan, seperti transformator, relai, dan sensor,” imbuhnya melanjutkan.
Arus 100 ampere setara layanan listrik yang disediakan untuk banyak rumah tangga. Wallace memperingatkan arus seperti itu ‘dapat menyebabkan kerusakan internal pada komponen, yang menyebabkan pemadaman listrik skala besar’.
Melihat kemungkinan tersebut, para ahli dari National Academies of Sciences, Engineering and Medicine: the Aeronautics and Space Engineering Board and the Space Studies Board telah berkumpul pada bulan lalu untuk membahas potensi dampak cuaca luar angkasa pada jaringan listrik.
Menurut Space.com, para ahli saat ini sedang mengembangkan dan menyebarkan instrumen yang dapat menilai ancaman secara lebih baik. Selain mencoba mencari cara untuk mengatasi masalah seperti itu jika badai matahari besar lainnya menghantam bumi.
Jonathan Eastwood, seorang peneliti di Imperial College London mengatakan: “Setidaknya di Inggris, investasi cuaca antariksa sangat didorong pemahaman dampak sosial-ekonomi.
“Ada banyak pertanyaan tentang apa yang masuk akal untuk diinvestasikan untuk bertahan melawan cuaca luar angkasa berdasarkan kemungkinan dampaknya.” ujar Eastwood.
Eastwood merupakan bagian dari SWIMMR, program empat tahun senilai £20 juta atau Rp305 miliar yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan Inggris dalam pemantauan dan prediksi cuaca luar angkasa. Selama panel, anggota menyarankan bahwa sistem peringatan canggih dapat memungkinkan operator jaringan listrik untuk meminimalkan efek badai Matahari dan bersiap memulihkan layanan secepat mungkin.
Selain itu, membuat sistem seperti itu akan membutuhkan pengumpulan data cuaca luar angkasa yang lebih baik, seperti yang sudah digunakan oleh NASA (Badan Penerbangan Luar Angkasa AS) dan ESA (Badan Penerbangan Luar Angasa Eropa)
Itu juga perlu membuat model yang akan memprediksi kemungkinan kegagalan jaringan lengkap atau sebagian, dan beberapa validasi bahwa model dan respons tersebut berfungsi.
Satelit Starlink rusak
Sebelumnya sebanyak 40 satelit starlink milik Space X rusak akibat badai Matahari. Itu terjadi akibat perusahaan milik Elon Musk itu mengabaikan peringatan yang telah diberikan sebelumnya.
Dilansir Times, dengan mudah atmosfer menjatuhkan satelit 260 kg dari orbitnya sebelum mencapai permukaan. Pesawat ruang angkasa yang rusak dan jatuh itu disebut bagian dari muatan 49 satelit Starlink yang diluncurkan SpaceX ke orbit pada 3 Februari yang dimaksudkan untuk bergabung dengan 1.925 Starlink lainnya.
Keberadaan satelit Starlink bertujuan untuk meningkatkan dan menyediakan akses global ke layanan broadband.
Starlink sudah mengelilingi Bumi dalam orbit yang berkisar dari 540 km (335 mil) hingga 1.300 km (800 mil). Seperti praktik umum untuk SpaceX, semua Starlink awalnya ditempatkan di orbit parkir singkat hanya 209 km (130 mil) ke atas sehingga mereka dapat dijalankan melalui sistem check-out untuk memastikan mereka berfungsi dengan baik. (rdr/cnnindonesia.com)