Survei IATA: 70 Persen Wisatawan Keberatan Mahalnya Biaya Tes PCR

Seharusnya pemerintah dapat menanggung biaya pemeriksaan yang wajib

Ilustrasi bandara Foto: Shutter Stock

JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Tes PCR menjadi salah satu syarat utama perjalanan selama pandemi, namun kenyataannya banyak wisatawan yang keberatan dengan mahalnya biaya tes COVID-19. Hal itu terungkap dalam survei terbaru yang dilakukan Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA).

Dilansir Japan Today, dalam survei terbarunya, IATA menyebut bahwa 70 persen wisatawan merasa terbebani dengan biaya test COVID-19. Selain masalah biaya, tes COVID-19 juga menjadi penghalang utama dan menimbulkan ketidakpastian dalam melakukan perjalanan.

Selain itu, 78 persen di antaranya menyatakan bahwa seharusnya pemerintah dapat menanggung biaya pemeriksaan yang wajib. Walau demikian, dari sekian banyak responden, 86 persennya sepakat bahwa mereka bersedia untuk melakukan tes COVID-19 sebagai salah satu syarat perjalanan.

“IATA mendukung pemeriksaan COVID-19 sebagai jalan untuk membuka kembali perjalanan internasional. Namun, dukungan yang kami berikan bukanlah tanpa syarat. Selain dapat diandalkan, pemeriksaan harus bisa diakses, terjangkau, dan sesuai dengan tingkat risiko,” ujar Willie Walsh, Direktur Jenderal IATA.

IATA pun mendesak pemerintah turun tangan dalam mengatasi tingginya harga tes COVID-19 di berbagai wilayah.

Walsh pun menyarankan agar pemerintah mengadaptasi panduan terharu dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk wisatawan yang sudah divaksinasi penuh dibebaskan dari kewajiban tes COVID-19. Selain itu, pihaknya juga meminta agar tes antigen bisa digunakan sebagai alternatif tes yang lebih terjangkau dibandingkan tes PCR.

Menurut IATA, tes antigen bisa jadi alternatif pertama dalam pengujian wisatawan sebelum melakukan perjalanan. Sedangkan, tes PCR bisa dilakukan untuk tes lanjutan saat penumpang terkonfirmasi positif COVID-19.

Sebab, dengan harga 10 dolar AS atau sekitar Rp144 ribu per tes, tes antigen dinilai bisa meringankan biaya perjalanan wisatawan. Meski demikian, pihaknya meminta pengujian semacam ini harus disesuaikan dengan tingkat ancaman atau negara itu sendiri.

Di Inggris misalnya, Layanan Kesehatan Nasional mencatat dari 1,37 juta pengujian yang dilakukan terhadap pendatang dari negara-negara yang masuk daftar kuning. Hanya satu persen hasilnya yang positif dalam empat bulan.

Sementara, kasus positif COVID-19 yang terdeteksi dari populasi umum setiap hari hampir tiga kali lipatnya. “Data dari pemerintah Inggris mengkonfirmasi bahwa pelancong internasional berisiko rendah mengimpor COVID-19 dibandingkan tingkat infeksi yang ada di dalam negeri itu,” tutur Walsh. (*)

Sumber: kumparan
Gabung WhatsApp Channel, Telegram Channel, dan follow juga Facebook, Instagram Radar Sumbar untuk update berita terbaru
Exit mobile version