Fakta Unik Ritual Pembuatan Kapal Pinisi, Potong Lunas agar Dijauhi Hal-hal Buruk

Kapal Pinisi asal Sulawesi Selatan resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO

ilustrasi kapal pinisi. (net)

JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Sejak 7 Desember 2017, Kapal Pinisi asal Sulawesi Selatan resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO sebagai warisan budaya takbenda. Penetapan ini tercatat sebagai PINISI: Art of Boatbuilding in South Sulawesi atau seni dalam pembuatan Kapal Pinisi di Sulawesi Selatan.

Meski sudah diakui UNESCO, sayangnya masih sedikit masyarakat Indonesia yang mengetahui tentang asal muasal sejarah, cara pembuatan, hingga fakta unik seputar Kapal Pinisi.

Dalam dokumen pembelajaran milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, berjudul ‘Pinisi Si Kapal Ajaib’ yang ditulis Dedi Arsa dan terbit pada 2017, menjelaskan secara detail tentang seluk beluk Kapal Pinisi.

Daerah asal Kapal Pinisi
Kapal Pinisi adalah kapal kayu legendaris yang berasal dari Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang diperkirakan sudah dibuat sejak abad ke-14 atau tahun 1400-an. Kini sebagian besar kapal pinisi dibuat di Tana Beru, salah satu daerah di Bulukumba, yaitu wilayah yang ditinggali para leluhur yang secara turun temurun membuat pinisi, dengan cara gotong royong.

Biasanya pembuat pinisi memiliki kerja sambilan seperti nelayan yang biasa membuat perahu untuk digunakan menangkap ikan. Kapal pinisi merupakan sejenis kapal layar tradisional dari Suku Bugis, yang memang sejak zaman dahulu terkenal sebagai pembuat perahu dan pelaut.

Bentuk kapal pinisi dan cara pembuatannya
Perahu tradisional ini memiliki dua tiang layar utama dengan tujuh buah layar. Tiga layar dipasang di ujung depan, dua layar di bagian depan, dan dua layar lagi dipasang di bagian belakang perahu. Layar-layar inilah yang digunakan sebagai pembantu alat gerak kapal ketika berlayar.

Tujuh layar ini memiliki makna atau simbol jika nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera di dunia.

Hal yang membuat kapal pinisi unik adalah pembuatannya yang masih sangat tradisional, dari sisi alat hingga cara pemasangan berbagai komponen kapal. Kapal juga dibuat langsung di bibir pantai, dengan tujuan setelah selesai bisa langsung digunakan dan didorong ke laut.

Sejarah kapal pinisi
Perahu tradisional Suku Bugis ini, kerap digunakan para leluhur untuk mencari nafkah berlayar hingga Eropa dan Afrika. Itulah kenapa, kapal pinisi pernah tercantum dalam mata uang Indonesia, salah satunya uang lembar Rp 100 berwarna merah.

Menurut sejarah, kapal pinisi juga disebut sudah digunakan para raja dan pangeran. Salah satu yang terkenal adalah Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Ia dianggap sebagai orang yang pertama kali membuat pinisi.

Berdasarkan riwayat, pangeran Sawerigading kerap menggunakan kapal pinisi untuk berlayar menuju Tiongkok, China. Menurut kabar, kepergian pangeran tersebut bertujuan ingin meminang putri kerajaan Tiongkok bernama Putri We Cudai.

Tidak hanya berhasil sampai di Tiongkok dengan kapal pinisi, Pangeran tersebut juga berhasil menikahi Putri We Cudai, dan kembali ke kerajaan dengan menggunakan kapal pinisi.

Sayangnya, nasib nahas menimpa pangeran Sawerigading. Menjelang sampai di kerajaan, kapal pinisi yang dinaikinya terhantam ombak besar, dan serpihan kapal pinisi terdampar di tiga desa, salah satunya di Tanah Beru.

Akhirnya ketiga desa menyatukan kembali serpihan kapal, dan berhasil dirakit kembali menjadi kapal. Satu kampung membuat badan kapal, satu kampung merancang kapal, dan kampung Tanah Beru menyatukan dan merakitnya kembali jadi satu.

Sementara itu, mengutip karya tulis Muslimin, Sarina, Fitra Anggareni, dan Supratman, Peneliti Universitas Hasanuddin yang berjudul Eksistensi Panrita Lopi, menyebutkan kapal pinisi dalam sejarah kemaritiman mampu mengarungi samudera yang luas hingga sampai di Semenanjung Malaka, Filipina, Australia Utara, Madagaskar hingga ke Meksiko.

Jenis-jenis kapal pinisi
Kapal pinisi biasanya terbagi dalam dua jenis, yakni pinisi Lambda dan pinisi Palari. Untuk pinisi Lambda cenderung lebih modern dibanding pinisi Palari. Pinisi lamda sudah dilengkapi dengan motor diesel atau mesin. Jenis pinisi ini sudah tidak menggunakan tenaga angin lagi. Sehingga kapal ini berjalan di laut tidak lagi bergantung pada keberadaan angin.

Dari sisi ukuran, pinisi lamda juga cenderung lebih besar dari pinisi lainnya, sehingga beban dan barang yang diangkut bisa lebih banyak.

Sedangkan pinisi Palari, dikenal sebagai bentuk awal pinisi yang berukuran 10 hingga 15 meter dengan daya angkut maksimal 30 ton. Pinisi Palari bergerak masih mengandalkan layar di tengah laut berdasarkan kekuatan angin, dan dikenal dengan pinisi tradisional.

Di masa lalu, baik pinisi Lamba maupun Palari, sama sama digunakan untuk mengangkut barang dagangan atau sebagai kapal nelayan untuk mencari ikan. Namun sekarang, kapal pinisi kerap dijadikan sebagai kapal pesiar mewah.

Teknik pembuatan kapal pinisi
Pembuatan salah satu kapal kebanggan Indonesia ini cenderung unik, karena berbeda dengan pembuatan kapal pada umumnya. Nama teknik pembuatannya disebut kerangka ditatah usai lambung dibentuk.

Bahkan dalam pencarian bahan baku kayu untuk kapal harus dicari hari baiknya, yakni harus mencari kayu di hari ke-5 dan ke-7 pada bulan yang sedang berjalan. Angka 5 dalam bahasa Bugis menyimbolkan naparilimai dalle‘na, yang berarti rezeki sudah di tangan. Sementara angka tujuh menyimbolkan natujuangngi dalle‘na, yang berarti selalu mendapat rezeki.

Akibat hutan sudah tidak selebat zaman dahulu, maka kayu bukan lagi diperoleh dari hutan tapi harus dibeli dari gudang kayu. Bahkan tidak jarang juga didatangkan dari pulau lain di luar Sulawesi. Kayu yang bagus adalah kayu yang besar dan sudah berumur cukup tua. Setelah menemukan kayu yang bagus, tahap selanjutnya adalah menebang kayu itu.

Setelah kayu ditebang, tidak langsung dipotong-potong menjadi balok-balok besar untuk lunas atau papan untuk lambungnya. Namun, sebelumnya kayu terlebih dahulu harus dikeringkan beberapa lama, agar lebih mudah dipotong.

Setelah dikeringkan, kayu itu dipotong-potong sesuai kebutuhan. Kemudian kayu atau bahan baku tersebut dirakit menjadi sebuah perahu. Cara merakitnya adalah dengan memasang lunas dan papannya. Setelah terpasang, barulah mendempulnya.

Pendempulan ini sangat penting untuk menghindari kebocoran kapal. Setelah badan kapal selesai, barulah kemudian dipasang tiang layar dan layarnya. Layarnya itu dijahit di tempat terpisah, diupahkan kepada tukang jahit yang ahli menjahit layar.

Layarnya berjumlah tujuh layar. Empat layar besar di tengah, tiga layar topang di muka. Tujuh ini melambangkan tujuh samudra yang telah ditempuh oleh pinisi.

Tahap terakhir adalah peluncuran perahu ke laut. Pada tahap ini, perahu ditarik bersama-sama menggunakan rantai dan tali. Seluruh pekerja ikut menarik perahu. Kalau sulit, kadang dipanggil pekerja tambahan untuk menariknya. Itu tergantung besar atau kecilnya perahu.

Ritual unik pembuatan kapal pinisi
Kapal pinisi dibuat setelah melalui ritual kecil pemotongan lunas. Lunas adalah bagian paling dasar pada kapal. Berbagai macam makanan harus ada dalam ritual ini. Misalnya saja jajanan yang harus berasa manis dan seekor ayam jago putih.

Tujuannya agar keberuntungan mendatangi para pekerja sehingga tidak ada kecelakaan dan hal-hal buruk lainnya. Jajanan dengan rasa manis merupakan simbol keinginan dari pemilik agar kapalnya mendatangkan keuntungan yang banyak.

Sementara darah ayam jago putih yang ditempelkan pada lunas merupakan simbol harapan agar nantinya tak ada darah yang tertumpah saat proses pembuatan kapal. Sehingga dalam bekerja, tidak ada para pekerja yang luka dan celaka. (*)

Sumber: suara.com
Exit mobile version