JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Dengan memakai speedboat dan jet ski, para pemburu di Kepulauan Faroe menangkap dan membantai lebih dari 1.400 lumba-lumba sisi putih pada Minggu (12/9). Bangkai mamalia laut yang tampak terkoyak itu dibiarkan berjejer di tepi pantai.
Peristiwa ini memicu protes keras dari para konservasionis dan penduduk asli Faroe. Masyarakat Konservasi Gembala Laut (The Sea Shepherd Conservation Society) menganggap pembunuhan ini sebagai pembantaian. Perburuan lumba-lumba sendiri adalah tradisi kuno yang ada di Kepulauan Faroe, wilayah otonomi Denmark yang terletak di antara Norwegia, Skotlandia, dan Islandia. Budaya ini sudah ada sejak zaman Viking, dikenal sebagai Grindadrap atau menggiling.
Dalam praktiknya, para pemburu akan mendorong paus pilot atau spesies lumba-lumba lainnya ke pulau Fjord untuk dibunuh menggunakan tombak khusus. Ini adalah satu-satunya perburuan mamalia laut yang masih dilakukan di Eropa Barat. Daging lumba-lumba biasanya akan dipotong-potong kemudian dibagikan ke penduduk setempat. Namun, pada perburuan kali ini, lumba-lumba yang dibunuh dinilai terlalu banyak untuk dibagikan ke sekitar 53.000 penduduk Kepulauan Faroe.
Menurut penduduk setempat, para pemburu melakukan kesalahan dalam memperhitungkan jumlah lumba-lumba. Ketika mereka pertama kali melihat lumba-lumba, pemburu memperkirakan jumlahnya hanya sekitar 200 ekor. Namun, begitu pembantaian dilakukan, jumlahnya membludak.
Bjarni Mikkelsen, ahli biologi kelautan Kepulauan Faroe, mengatakan bahwa perburuan kali ini menjadi yang terbesar sepanjang sejarah, yang rekor sebelumnya tercatat ada 1.200 paus pilot mati pada 1940. Setiap tahunnya, diperkirakan 600 paus pilot dan 250 lumba-lumba sisi putih dibunuh dalam tradisi tersebut.
Sementara tradisi Grindadrap terus mendapatkan protes keras dari kelompok konservasi di setiap tahunnya, budaya modern juga tampaknya tak kalah sadis dengan apa yang dilakukan oleh para pemburu di Kepulauan Faroe. Hal ini terpampang jelas dalam film dokumenter di Netflix pada 2021 berjudul “Seaspiracy”, yakni film tentang dampak industri perikanan terhadap lautan global.
Sejauh ini, perburuan lumba-lumba di Kepulauan Faroe statusnya legal, kendati memerlukan izin dari otoritas setempat. Para pendukung budaya Grindadrap khawatir, apa yang terjadi pada Minggu (12/9/2021) kemarin dapat memicu gerakan dari para pecinta lingkungan yang menginginkan tradisi dihentikan atau bahkan dilarang.
Dan tampaknya memang benar, acara Grindadrap kali ini memicu reaksi keras dan kecaman di berbagai media sosial di seluruh dunia, termasuk seruan untuk memboikot ekspor ikan ke Pulau Faroe. (kumparan.com)
Komentar