PADANG, RADARSUMBAR.COM – Sebanyak 17 anggota Direktorat Samapta Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat (Sumbar) diduga kuat melakukan kekerasan dan penyiksaan membabi buta terhadap anak berstatus pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) bernama Afif Maulana (13) hingga berujung kematian pada Minggu (9/6/2024).
Hal tersebut disampaikan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada Kamis (27/6/2024). Mengacu pada hasil investigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Afif Maulana meregang nyawa setelah diduga mendapat berbagai tindakan penyiksaan serius oleh anggota Sabhara yang tengah berpatroli menggunakan motor dinas berjenis KLX pada Minggu (9/6/2024) sekitar pukul 03.30 WIB.
Akibatnya, Afif Maulana ditemukan mengambang dalam kondisi tak bernyawa di bawah jembatan aliran Sungai Kuranji, Jalan Bypass kilometer 9, Kota Padang.
Pada saat ditemukan, korban Afif Maulana dalam kondisi luka lebam di bagian pinggang sebelah kiri, lebam di bagian punggung, lebam di bagian pergelangan tangan dan siku, pipi kiri membiru, dan luka yang mengeluarkan darah di kepala bagian belakang dekat telinga. Tidak hanya itu, enam tulang rusuk korban patah dan paru-parunya robek.
Tak hanya Afif Maulana, penyiksaan juga dilakukan terhadap lima orang anak dan dua orang dewasa berumur 18 tahun.
Temuan LBH Padang, korban yang mayoritas terdiri dari anak-anak ini mengalami penyiksaan serius dengan cara dicambuk, disetrum, disuruh berjalan jongkok dan berguling-guling hingga muntah, dipukul menggunakan rotan atau manau, ditendang saat berkendara bahkan langsung ke tubuh korban, serta mendapatkan sundutan rokok.
Bahkan keterangan lain yang didapatkan, adanya tindak kekerasan seksual berupa memaksa ciuman sejenis. Setelahnya mereka dipaksa membuat perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan yang dituduhkan.
Terhadap peristiwa tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian berpandangan sebagai berikut:
Pertama, Mengecam keras tindakan anggota Polda Sumbar yang melakukan penyiksaan terhadap sejumlah anak yang salah satunya berujung kematian. Tindakan ini merupakan bentuk penyiksaan tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia sebagaimana dimaksud Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), yakni menimbulkan rasa sakit dan penderitaan fisik yang parah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk menghukum korban atas suatu tindakan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukannya, serta dilakukan oleh otoritas resmi, dalam hal ini anggota polisi.
Bahwa tindakan penyiksaan hingga meninggal dunia yang dialami Afif Maulana terjadi karena tidak adanya pengawasan atau kontrol dari lembaga peradilan (judicial scrutiny) atas upaya penangkapan oleh polisi.
Padahal, hadirnya badan peradilan seketika setelah polisi melakukan penangkapan sangat penting guna menguji sah atau tidaknya proses penangkapan tersebut. Sepanjang konsep habeas corpus ini tidak dilaksanakan dengan maksimal, kasus penyiksaan akan terus terjadi. Wacana pemasangan body camera di seragam polisi yang diusulkan oleh Kompolnas pun tidak cukup untuk menjamin tidak ada lagi kasus-kasus seperti yang dialami Afif Maulana, sepanjang belum ada pengawasan yang mumpuni oleh lembaga peradilan terhadap kewenangan polisi yang sangat besar.
Kedua, Koalisi mengecam sikap Kapolda Sumbar, Irjen Suharyono pada saat konferensi pers pada Minggu (23/6/2024), yang menyatakan bahwa korban Afif Maulana berencana masuk ke sungai atau menceburkan diri ke sungai serta pernyataannya untuk mencari siapa pelaku yang memviralkan kasus kematian Afif Maulana.
Pernyataan perihal Afif Maulana menceburkan diri ini merupakan pernyataan yang sangat prematur karena tidak didahului proses penegakan hukum profesional berupa penyelidikan dan penyidikan. Selain itu, sikap Kapolda Sumbar juga merupakan bentuk ‘code of silence’ yang menunjukkan sebuah kondisi seseorang yang memilih untuk menahan informasi yang diyakini penting, sehingga hal demikian dapat dipastikan merupakan sikap yang bertendensi melindungi pelaku dan kian berpotensi melanggengkan praktik impunitas terhadap aparat pelaku kejahatan, khususnya penyiksaan.
Terhadap pernyataan Kapolda Sumbar untuk mencari pelaku yang memviralkan kasus kematian Afif Maulana, Koalisi menilai bahwa hal tersebut merupakan sikap keliru dan bertentangan dengan ketentuan Undang-undang (UU) nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang pada prinsipnya memberikan perlindungan terhadap narasumber yang pada gilirannya membungkam kebebasan pers.
Pers yang pada dasarnya memiliki fungsi informasi dan peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (right to know) sebagaimana termaktub dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999, membutuhkan narasumber dalam karya jurnalistik.
Semestinya, Kapolda Sumbar menggunakan mekanisme hak jawab dan hak koreksi sebagaimana dijamin di dalam UU Pers.
Di sisi lain, semestinya langkah yang diambil Kapolda adalah mengusut tuntas kasus dan mencari pelaku penyiksaan, bukan justru memburu pihak yang menyampaikan informasi.
Ketiga, kasus ini membuktikan bahwa praktik-praktik penyiksaan, tindakan keji, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat manusia telah berurat-berakar (melembaga) dalam tubuh Polri.