Dalam laporan situasi praktik penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia di Indonesia periode Juni 2023-Mei 2024 yang disusun oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), setidaknya terdapat 60 peristiwa penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di Indonesia.
Dalam berbagai peristiwa tersebut, Kepolisian tercatat sebagai aktor dominan pelaku penyiksaan dengan 40 peristiwa. Berbasis temuan YLBHI-LBH Jakarta, setidaknya sepanjang 2013-2022 terdapat 80 korban penyiksaan oleh anggota polisi, 25 orang di antaranya merupakan korban salah tangkap atau salah hukum dan enam orang anak berkonflik dengan hukum (ABH). Dari temuan tersebut semua aktor atau pelakunya adalah anggota polisi.
Berdasarkan dokumentasi LBH Masyarakat yang lakukan di tiga Rumah Tahanan (Rutan) wilayah DKI Jakarta dalam periode Januari-Mei 2024, terdapat 35. Rincinya, tiga orang perempuan dan 32 orang laki-laki dari total 204 tahanan yang mengaku mendapat penyiksaan.
Sebanyak 15 dari 35 tahanan yang mengaku mengalami penyiksaan diduga terlibat dalam kasus narkotika, dan 20 sisanya diduga melakukan tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP. Adapun peristiwa penyiksaan tersebut terjadi dalam tahap pemeriksaan di kepolisian.
Keempat, kasus ini merupakan dampak langsung dari gagalnya reformasi kepolisian pascareformasi. Sejak runtuhnya rezim otoritarian orde baru, reformasi kepolisian adalah salah satu bagian dari ikhtiar penguatan demokrasi dan hak asasi manusia sejak dimulainya pemisahan peran dan kelembagaan antara Polri dan TNI melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2020.
Saat itu, Polri didorong menjadi polisi sipil yang profesional dan menjunjung tinggi nilai dan prinsip-prinsip HAM.
Lebih dari 20 tahun setelah pemisahan tersebut, agenda reformasi kepolisian mengalami kegagalan total. Hingga kini, tidak terdapat kemajuan yang signifikan bagi reformasi kepolisian.
Alih-alih berubah dan mendorong pengarusutamaan demiliterisasi dan polisi sipil yang humanis dan profesional, kepolisian masih mempertahankan watak kekerasan yang tidak jauh berbeda saat masih berada dalam tubuh ABRI.
Polri masih rentan digunakan sebagai instrumen kekerasan dan penegak kepentingan kekuasaan ketimbang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Ironisnya hal tersebut dibungkus modus penegakan hukum maupun dalih menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Kelima, Kasus penyiksaan dan dugaan pembunuhan terhadap Afif Maulana kian membuktikan bahwa pembatasan kewenangan dan penguatan pengawasan kepolisian harus segera dilakukan. Dengan demikian pembahasan dan rencana pengesahan RUU Polri harus segera dihentikan DPR RI dan Pemerintah.
Revisi UU Polri secara nyata telah mengabaikan perbaikan fundamental bagi institusi Polri, menegasikan perbaikan substansial mekanisme pengawasan (oversight mechanism), serta tidak memiliki perspektif bagi penguatan HAM sama sekali.
RUU Polri justru memberikan kekuasaan secara serampangan dan kewenangan berlebih (excessive) kepada Polri sehingga pada gilirannya menempatkan Polri sebagai institusi superbody.
RUU Polri juga akan dipastikan akan melanggenggkan praktik impunitas terhadap polisi pelanggar hukum dan pelaku kejahatan sehingga tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect).
Tidak kalah mengkhawatirkan, RUU ini juga amat potensial menjadikan Polri sebagai alat politik (police being as political tool) guna memfasilitasi kejahatan kekuasaan, memberikan ancaman serius bagi kebebasan sipil, hingga dapat bertransformasi sebagai alat kekerasan yang menciptakan ketakutan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.
Keenam, Pemerintah dan DPR RI perlu segera meratifikasi Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan segera merevisi atau mengubah KUHAP, secara khusus terkait mekanisme kontrol dan pengujian atas kewenangan aparat penegak hukum, serta pemulihan bagi korban tindakan penyiksaan.
Sebab, langkah pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan tidak disertai dengan pembentukan regulasi yang mengatur lebih rigid di level nasional. Bahkan, sampai saat ini Indonesia belum juga meratifikasi Protokol Opsional dari Konvensi Anti Penyiksaan yang pada gilirannya menunjukkan sikap abai dan kompromis pemerintah terhadap tindakan penyiksaan itu sendiri.
Di sisi lain, butuh lebih dari 20 tahun untuk mengakomodir tindakan penyiksaan sebagai tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). (rdr)