PADANG, RADARSUMBAR.COM – Dulu tasabuik Rimbo Kaluang. Barimbo gadang batampek langang. Dulu tasabuik urang sagalanggang, GOR Haji Agus Salim kebanggaan urang Minang.
Gelanggang Olah Raga (GOR) H Agus Salim Padang punya sejarah panjang bagi persepakbolaan Ranah Minang. Pemain nasional, pelatih nasional juga banyak lahir dari GOR ini.
Bergelut di lapangan hijau dan meraih mimpi, kemudian merajut asa mencapai cita-cita untuk menjadi pemain profesional dan membela tim nasional.
Orang yang telah lama bergelut di lapangan hijau, menghabiskan masa muda mengolah si kulit bundar, Mastilizal Aye yang juga Ketua Askot PSSI Padang punya kenangan manis dengan stadion GOR H Agus Salim ini.
Aye yang juga Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Kota Padang ini menyatakan kepedihan sembari bersastra di tengah masa suram GOR H Agus Salim.
“Dulu katanya, stadion ini kebanggaan Sumatera Barat (Sumbar). Di sini kita pernah bersorak, bergembira bersama. Bersedih dalam duka bersama-sama. Sekarang, itu hanya sebuah kenangan. Tak ada lagi sorak-sorak itu.”
“Karena GOR Agus Salim terpuruk seiring terpuruknya prestasi Semen Padang FC dan PSP. Tak ada lagi yang peduli untuk mengelola stadion kebanggaan urang awak ini. Bahkan, tak dipandang lagi dan dianggap tak layak untuk pagelaran sepakbola nasional,” katanya.
Aye yang masih aktif menggeluti si kulit bundar dalam usia kepala lima ini juga mengatakan, penyebabnya pimpinan negeri ini tidak peduli dengan sepakbola. Sumbar bukan tak punya pemain hebat, bukan tak punya pelatih hebat.
“Banyak pemain dan pelatih Sumbar berkibar di klub luar. Karena ketidakpedulian pemimpin dan tak ada yang coba mengumpulkan mereka, semua terasa sia-sia. Potensi besar mereka berkembang ke daerah lain,” cerita Aye.
“Andai pemimpin negeri ini peduli dan mengerti serta mau berkorban untuk sepakbola, saya yakin Sumbar akan punya dream team (tim impian) yang ditakuti dan disegani di tingkat nasional.”
“Meski demikian, SSB (sekolah sepakbola) dan klub tetap berjuang dan berjalan sendiri mencetak pemain potensial. Mirisnya, setelah mereka hebat, mereka merantau ke daerah lain,” tambahnya.
Alasan mereka, seharusnya mereka pantas dihargai. Karena tak dihargai di kampung halaman sendiri dan tempat mereka tidak ada di negeri sendiri, mereka pergi. Ini yang sangat disayangkan, potensi itu dimanfaatkan orang lain.
“Jangan harap mereka peduli dengan prestasi sepakbola. Untuk merawat lapangan saja, mereka tak mau tahu. Terutama GOR H Agus Salim yang diperuntukkan untuk olahraga, telah beralih jadi tempat berjualan,” sesal Aye.
Sayang seribu sayang, kata Aye, stadion kebanggaan itu tak terawat. Tak ada yang memperhatikan. Padahal, PAD (pendapatan asli daerah) ada dari sana.
“Kemana perginya sewa lapangan? Kemana eprginya retribusi yang dipungut dari pedagang? Tahukan anda, ketika pemain bola itu berprestasi, semua numpang selfie,” katanya.
Kata Aye, seolah-olah mereka yang paling peduli. Diaraknya pula dari BIM ke dalam kota. Hujan panas ditempuhnya dan dijanjikan mau dibawa ke Jerman.
“Segala uang hadiah pun tak mereka terima. Kalau pun ada, itu tak seberapa. Intinya anak-anak itu tak terima sesuai harapan mereka,” katanya.
Sudahlah, kata Aye, dari 19 Kabupaten dan Kota di Sumbar, tak satu pun ada di Liga 1 dan Liga 2. Karena ketidakpedulian pemimpinnya pada sepakbola.
Ada yang sudah mencoba, tapi tak berhasil juga. Karena sepakbola itu bukan rekayasa. Sepakbola itu nyata, harus kerja keras dan mengerahkan segala daya dan upaya.
“Pak Gubernur, Wali Kota, Bupati bersatulah dengan sepakbola Sumbar tercinta. Benahi semua lapangan sepakbola yang ada. Latih anak-anak muda, kumpulkan mereka.”
“Kalau ingin tahu rujukannya, baca Inpres Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Sepakbola Nasional,” kata Aye. (rdr/*)