Alasan mereka, seharusnya mereka pantas dihargai. Karena tak dihargai di kampung halaman sendiri dan tempat mereka tidak ada di negeri sendiri, mereka pergi. Ini yang sangat disayangkan, potensi itu dimanfaatkan orang lain.
“Jangan harap mereka peduli dengan prestasi sepakbola. Untuk merawat lapangan saja, mereka tak mau tahu. Terutama GOR H Agus Salim yang diperuntukkan untuk olahraga, telah beralih jadi tempat berjualan,” sesal Aye.
Sayang seribu sayang, kata Aye, stadion kebanggaan itu tak terawat. Tak ada yang memperhatikan. Padahal, PAD (pendapatan asli daerah) ada dari sana.
“Kemana perginya sewa lapangan? Kemana eprginya retribusi yang dipungut dari pedagang? Tahukan anda, ketika pemain bola itu berprestasi, semua numpang selfie,” katanya.
Kata Aye, seolah-olah mereka yang paling peduli. Diaraknya pula dari BIM ke dalam kota. Hujan panas ditempuhnya dan dijanjikan mau dibawa ke Jerman.
“Segala uang hadiah pun tak mereka terima. Kalau pun ada, itu tak seberapa. Intinya anak-anak itu tak terima sesuai harapan mereka,” katanya.
Sudahlah, kata Aye, dari 19 Kabupaten dan Kota di Sumbar, tak satu pun ada di Liga 1 dan Liga 2. Karena ketidakpedulian pemimpinnya pada sepakbola.
Ada yang sudah mencoba, tapi tak berhasil juga. Karena sepakbola itu bukan rekayasa. Sepakbola itu nyata, harus kerja keras dan mengerahkan segala daya dan upaya.
“Pak Gubernur, Wali Kota, Bupati bersatulah dengan sepakbola Sumbar tercinta. Benahi semua lapangan sepakbola yang ada. Latih anak-anak muda, kumpulkan mereka.”
“Kalau ingin tahu rujukannya, baca Inpres Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Sepakbola Nasional,” kata Aye. (rdr/*)