Pembangunan di Indonesia selama lima tahun terakhir (2020–2024) menunjukkan kemajuan signifikan, baik dalam hal pertumbuhan ekonomi maupun infrastruktur.
Oleh: Devina Ramadhani – Mahasiswi Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unand
Namun ekspektasi akan kemakmuran yang merata kerap terbentur pada realitas yang justru menciptakan berbagai paradoks: ketika satu pihak diuntungkan, pihak lain menjadi terpinggirkan.
Dalam kajian komunikasi pembangunan, memahami paradoks ini krusial agar strategi komunikasi tidak lagi bersifat topdown dan pukul rata, melainkan mampu menjawab kompleksitas lokal dan aspirasi masyarakat.
1. Infrastruktur Modernisasi vs. Marginalisasi dan Kerusakan Lingkungan
Pemerintah terus menggencarkan pembangunan jalan, pelabuhan, dan kawasan industri untuk mendongkrak konektivitas dan investasi. Namun:
“Bahkan tidak jarang pembangunan digencarkan tanpa melihat atau bahkan tutup mata terhadap dampak negatifnya, dampak terhadap kerusakan lingkungan misalnya.
Pembangunan yang fokus pada modernisasi wilayah perkotaan ini kemudian akan memarjinalkan wilayah‐wilayah pinggiran maupun pedesaan.” (Meidiana, 2024). Sumber: https://umj.ac.id/opini/paradoks-pembangunan/
Akibatnya, kesenjangan kota–desa semakin melebar: masyarakat lokal terdesak komoditas lahan, dan ekosistem di pinggiran kota rusak tanpa upaya mitigasi yang memadai.
2. Pembangunan Perumahan Mewah vs. Permukiman Kumuh
Di banyak kota besar, proyek real estate mewah tumbuh pesat, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan rumah di wilayah perkotaan mengalami paradoks di satu sisi, membangun rumah untuk mereka yang tidak butuh rumah sebagai tempat tinggal melainkan sebagai investasi.
Namun, menggusur orang‐orang tunawisma yang membutuhkan tempat tinggal. (Musida & Subaidi, 2024) Sumber: https://jurnal.stkip-majenang.ac.id/index.php/naafi/article/view/93
Sementara backlog perumahan mencapai jutaan unit, kaum berpenghasilan rendah dipaksa pindah ke pemukiman kumuh tanpa akses layanan dasar, menambah risiko sosial dan kesehatan.
3. Kesenjangan Ekonomi dan Keadilan Sosial
Kemakmuran nasional tidak serta merta menjamin keadilan distribusi kekayaan. Data dari Oxfam Indonesia menunjukkan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai hampir setengah dari total kekayaan negara.
Sementara itu, 50 persen penduduk terbawah hanya menguasai sekitar tujuh persen dari total kekayaan. (Baharudin, 2024) Sumber: https://thecolumnist.id/artikel/merdeka-secara-politik-terjajah-secara-sosial-sebuah-paradoks-negara-indonesia-3012/
Kesenjangan ini menghambat pencapaian SDGs, karena sebagian besar sumber daya terserap oleh segelintir pihak, meninggalkan sebagian besar masyarakat tanpa kesempatan memadai.
4. Peran Komunikasi Pembangunan dalam Mengatasi Paradoks
Penelitian terkini menegaskan perlunya model komunikasi yang dialogis dan partisipatif. “Dialogic communication serves as a medium that enables the exchange of information and ideas among stakeholders, thereby enhancing community involvement in decision-making related to infrastructure use.”
Sebagaimana ditunjukkan Ardiana et al. (2024), komunikasi dialogis dapat meminimalisir resistensi masyarakat dengan melibatkan mereka sejak tahap perencanaan hingga evaluasi.
Selain itu, Qadir & Khumaedi (2022) menggarisbawahi pentingnya model komunikasi persuasif dan dialogis yang terstruktur—mulai perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, hingga pengawasan—untuk memastikan kebijakan pembangunan benarbenar menjawab kebutuhan lokal.
Paradoks pembangunan di Indonesia bukan semata masalah teknis, melainkan juga komunikasi: tanpa dialog dan partisipasi, hasil pembangunan justru menciptakan ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, strategi komunikasi pembangunan harus beralih dari: