Masalah kebijakan penghapusan kuota impor di Indonesia tidak hanya memunculkan perdebatan teknis soal pasokan dan harga barang, tetapi juga mencerminkan kegagalan komunikasi pemerintah dalam menyampaikan visi dan risiko kebijakan tersebut.
Oleh: Devina Ramadhani, Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
Sejak pemerintah resmi menghapus kuota impor untuk beberapa komoditas strategis seperti bahan baku industri, pangan tertentu, dan barang elektronik terjadi gejolak pasar yang tajam, tercermin dari anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Terlebih lagi, krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin menguat ketika insiden pengiriman bangkai tikus dan kepala babi ke kantor redaksi Tempo menjadi simbol protes keras rakyat kecil atas kebijakan yang mereka nilai tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Latar Belakang Kebijakan Penghapusan Kuota Impor
Pemerintah sempat mengumumkan bahwa, sebagai upaya mendongkrak daya saing industri dalam negeri dan menekan praktik kartel, kuota impor pada sejumlah komoditas akan dihapus secara bertahap.
Langkah ini pada dasarnya memiliki alasan rasional: kuota impor selama ini dianggap menciptakan praktik “jatah” impor yang kurang transparan, menyebabkan harga barang tertentu menjadi lebih mahal, dan membatasi akses pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pada bahan baku.
Di sisi lain, pemerintah ingin memperkuat rasa kepercayaan investor asing dengan menyatakan bahwa Indonesia membuka diri terhadap arus barang internasional.
Namun, di lapangan, momentum pengumuman kebijakan ini bersamaan dengan fluktuasi harga komoditas global (seperti kenaikan harga minyak mentah dan komoditas pangan).
Sehingga, pelaku pasar baik pelaku industri maupun investor menangkap sinyal ambigu: apakah ini tanda bahwa harga impor akan murah karena kuota dihapus, atau justru rawan memicu arus barang murah asal luar negeri yang menekan produksi nasional?
Sayangnya, rincian mekanisme pemberlakuan pasca-kuota misalnya tarif pengganti, aturan administratif, dan kuota transisi tidak pernah dijelaskan secara gamblang kepada publik.
Akibatnya, sektor-sektor tertentu khususnya industri hulu yang bergantung pada bahan baku impor mulai khawatir terjadi lonjakan pasokan murah yang membuat produsen lokal tidak berdaya saing.
Kekhawatiran inilah yang kemudian berkontribusi pada penurunan kepercayaan investasi sehingga IHSG turun drastis.
Anjloknya IHSG: Cerminan Kekhawatiran Pasar
IHSG mencerminkan optimisme pasar terhadap prospek ekonomi Indonesia. Ketika kebijakan penghapusan kuota impor diumumkan tanpa penjelasan teknis yang memadai, pelaku pasar saham bereaksi negatif.
Mereka khawatir pelaku industri domestik terutama yang selama ini memanfaatkan kuota impor untuk menjamin pasokan bahan baku akan terpukul oleh banjir barang impor dengan harga sangat murah.
Dampak terburuknya, banyak pabrik: pabrikan tekstil, produsen elektronik, hingga iklim usaha UMKM yang bergantung pada bahan baku lokal semuanya menghadapi ketidakpastian besar.
Situasi ini diperparah oleh gejolak ekonomi global, inflasi yang belum sepenuhnya terkendali, dan kebijakan moneter Bank Indonesia yang berpotensi mengerek suku bunga acuan.
Secara keseluruhan, kombinasi antara kebijakan impor yang tampak “terbuka tanpa kontrol” dan kondisi makroekonomi global yang tidak bersahabat memaksa investor menarik dana, sehingga IHSG mengalami koreksi hingga mencapai titik terendah dalam beberapa bulan terakhir.
Sebagai contoh, pada tanggal pengumuman resmi akhir April 2025, IHSG turun lebih dari 2% dalam satu hari perdagangan, sebelum sedikit reli di pertengahan Mei 2025.