Oleh: Erizal
Yang tak kalah menarik dari konferensi pers tersangka kasus korupsi dana hibah Agus Suardi alias Abien kemarin adalah, munculnya nama putra Mahyeldi, M. Taufik, bahwa saat ia maju Ketua Umum KNPI Padang beberapa tahun lalu, Abien ikut serta sebagai “Bohir”, tapi sayang, M. Taufik tetap tak terpilih. Amsyong.
Menariknya, setidaknya, dalam tiga hal. Satu, Abien sedang membeberkan kegagalannya sebagai Bohir mengusung putra Mahyeldi, M. Taufik. Anehnya, ia tak merasa bersalah. Justru merasa benar untuk menutupi kesalahannya dalam kasus korupsi yang tengah menjeratnya. Peristiwa ini dipakai sebagai salah satu bukti.
Dua, ternyata Mahyeldi, dari keterangan Abien, jelas-jelas memberi restu pada anaknya, untuk merebut kursi Ketum KNPI Padang. Malah, pakai cara-cara lazim, tapi tak lazim karena ia dikenal seorang Buya. Yakni, bermain politik uang. Di sini, tak berlaku kisah Umar bin Abdul Aziz, yang mematikan lampu saat anaknya mendiskusikan soal pribadi, bukan soal publik.
Orang yang belum berkuasa kayak kita-kita ini, memang mudah saja menukilkan kisah-kisah teladan seperti Umar bin Abdul Aziz dan yang lain. Tapi, saat berkuasa belum tentu bisa mempraktikkan. Presiden merestui anak dan menantunya maju sebagai Wali Kota, Wali Kota merestui anaknya maju Ketua Umum KNPI, dll.
Tiga, politik uang dalam meraih posisi memang sudah merembet sampai tingkat paling bawah, termasuk dalam organisasi kepemudaan, yang sebetulnya perannya justru diharapkan sebagai agen perubahan. Sialnya, hampir semua pihak melakukan, termasuk yang selalu mengusung citra politik bersih di depan, tapi di belakang kotor juga. Apalagi, yang sudah kotor di depan? (*)