PADANG, RADARSUMBAR.COM – Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Mahyeldi menerima kunjungan kerja (kunker) Anggota Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman RI), Yeka Hendra Fatika di Istana Gubernuran Sumbar, Kamis (15/8/2024).
Keduanya berdiskusi terkait permasalahan pelayanan publik perkelapasawitan antara PT Laras Inter Nusa (PT LIN) dengan Koperasi Produsen Plasma Masyarakat Adat Kinali (KPP MAK) Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar).
“Kami berharap forum diskusi ini dapat menjadi momentum untuk mencapai kesepakatan, yang dapat diterima semua pihak dan sesuai dengan peraturan atau ketentuan terkait permasalahan yang sedang terjadi di Kinali,” kata Mahyeldi.
Pada kesempatan itu, Gubernur menjelaskan bahwa Sumbar merupakan salah satu daerah penghasil minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dengan luas areal 439 ribu hektar yang dikelola oleh perusahaan perkebunan baik swasta ataupun pemerintah seluas 188 ribu hektare (43 persen) dan sisanya 251 ribu hektare (57 persen) dikelola oleh perkebunan rakyat.
Dalam perkembangannya, pola hubungan antara perkebunan rakyat dan perkebunan besar mengalami berbagai dinamika.
Hal ini tentunya sudah diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan agar dapat berlangsung harmonis, saling menguntungkan dan berkelanjutan.
“Salah satu norma atau ketentuan tersebut adalah kewajiban Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) untuk masyarakat sekitar oleh perusahaan perkebunan, yang dimulai sejak terbitnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan,” katanya.
Ia menerangkan sebagaimana telah diubah lewat Permentan nomor 98 tahun 2013 dan diperkuat dengan Undang-undang (UU) nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang.
“Kewajiban FPKM menjadi salah satu solusi mengatasi ketimpangan kesejahteraan di daerah perkebunan dan menjaga hubungan yang harmonis antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitar kebun dengan tetap memperhatikan profitas dan keuntungan perusahaan. Lebih lanjut kewajiban FPKM diatur dengan Permentan nomor 18 tahun 2021,” katanya.
Selanjutnya, Gubernur mengajak seluruh pihak mempedomani aturan atau regulasi terkait dengan perizinan perkebunan dan FPKM sesuai dengan kewenangan masing-masing agar persoalan ini dapat terealisasi seluruhnya.
“Melalui forum diskusi ini diharapkan seluruh pihak terkait dapat menyampaikan permasalahan, kendala, hambatan serta upaya yang sepatutnya dilakukan sesuai kewenangan masing-masing, sehingga ada titik temu dari perselisihan antara PT LIN dengan Koperasi Produsen Plasma Masyarakat Adat Kinali,” katanya.
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengatakan, kedatangannya ke Sumbar adalah menindaklanjuti rapat beberapa Minggu lalu bersama jajaran Asisten dan Perwakilan Kantor Ombudsman di Sumbar, terkait munculnya di media sosial kasus yang dialami oleh KPP MAK dengan PT LIN.
“Sebetulnya, permasalahan ini belum ada laporan dari masyarakat, tetapi kami menanggapi keresahan sosial terkait permasalah yang ditangkap dari media. Kalau permasalah ini tidak cepat diantisipasi, khawatirnya akan menjadi konflik bagi kita semuanya,” katanya.
Oleh sebab itu, sebelum permasalahan itu terjadi, Ombudsman berinisiatif melakukan diskusi, dalam agenda pertama mendengarkan pandangan dari semua pihak, terutama dari Koperasi Produsen Plasma Masyarakat Adat Kinali dan PT LIN.
“Wabilkhusus saya juga ingin mendengarkan dari Kementerian Pertanian (Kementan) terkait masalah ini. Karena konflik ini bermuara dari pelaksanaan aturan Permentan terhadap kewajiban membangun plasma 20 persen. Oleh karena penting bagi kami regulasi terkait persolan penyediaan lahan bagi masyarakat agar dapat dilayani lebih baik lagi,” tuturnya. (rdr)