Belum berpuas diri pasca anak sulungnya Gibran jadi wakil presiden. Malah dinasti Jokowi lanjut membuat republik ini melayani keluarga dan anteknya.
Melumpuhkan partai politik dan sidang dadakan DPR RI merespons putusan Mahkamah Konstitusi adalah puncak angkara yang mereka lakukan.
“Mereka melecehkan MK, menghina konstitusi dan membunuh kedaulatan rakyat dengan merevisi UU Pilkada untuk memfasilitasi anak dan kroni-kroninya agar bisa mengabdi pada kepentingan dinastinya. Koalisi Indonesia Maju plus adalah pembajakan demokrasi, menghamba pada oligarki, menghegemoni DPR dan musuh rakyat yang cinta akan keadilan,” demikian siaran pers KMSS.
DPR RI, lanjut KMSS, dinilai memalukan lantaran hanya dijadikan alat untuk kekuasaan dinasti Jokowi. Tak satupun regulasi peduli rakyat yang diurus.
“Sebut saja RUU Masyarakat Adat, RUU Pekerja Rumah Tangga, RUU Penyiksaan, RUU Perampasan Aset tak diacuhkan tapi sangat sat-set memproduksi hukum untuk dinasti Jokowi dan kroninya. Hitungan 24 jam langsung merevisi RUU Pilkada untuk melawan Putusan MK. DPR telah melakukan pembangkangan terhadap Konstitusi dan wajib diadili rakyat yang cinta akan keadilan dan kebenaran,” katanya.
Pada situasi darurat ini, lanjut KMSS, rakyat wajib marah dan muak. Rakyat bukan dagelan permainan politik Dinasti Jokowi dan kroninya.
“Kami rakyat Sumbar melakukan ultimatum, sudahi kemuakan dan kemarahan rakyat, hentikan pembahasan revisi UU Pilkada yang melawan putusan MK. Jika masih ngeyel dan bermain-main kedaulatan rakyat kami menghimbau rakyat memboikot pilkada yang menghancurkan demokrasi dan republik ini. Situasi darurat ini, selemah-lemah iman adalah turun kejalan selamatkan demokrasi dan republik. Republik Indonesia bukan milik jokowi dan kroni-kroninya,” papar KMSS.
Pertahankan Demokrasi
Koalisi Lintas Organisasi Pers pun juga mengeluarkan siaran pers atau rilis terkait aksi unjuk rasa kawal putusan MK soal Pilkada.
Mereka menilai demokrasi di Indonesia kembali terancam. Gejala ini semakin terlihat dari situasi politik terkini, yang oleh kelompok penguasa berupaya merongrong konstitusi demi tujuan pragmatisme kekuasaan.
Elit-elit kekuasaan tanpa malu-malu menganulir dua putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini.
Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mempertegas syarat batas usia pencalonan kepala daerah harus terpenuhi pada saat pendaftaran.
Upaya penganuliran dua keputusan lembaga konstitusi tertinggi tersebut dipertontonkan secara angkuh melalui proses legislasi rancangan undang-undang (RUU) Pilkada secara kilat, yang sudah tentu tidak mematuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Tercium aroma busuk di balik niat untuk merevisi undang-undang pilkada ini setelah putusan MK, hingga menyisakan pertanyaan tentang masa depan konstitusi dan demokrasi kita,” tulis organisasi tersebut.
“Bukan kali ini saja penyimpangan kekuasaan dalam proses legislasi. Beberapa regulasi krusial yang mulus dikebut dalam waktu singkat seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Minerba, revisi UU KPK, UU Ibu Kota Negara (IKN) tanpa asas transparansi dan partisipasi masyarakat. Padahal banyak RUU yang lebih mendesak untuk kepentingan masyarakat seperti RUU Masyarakat adat, RUU Perampasan Aset, Perlindungan Data Pribadi, dan sebagainya,” katanya.
Di tengah situasi ini, peran pers dan jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi tidak boleh lagi melunak pada upaya-upaya kekuasaan yang hendak melumpuhkan demokrasi.
Bila Putusan MK bisa mereka anulir dalam waktu sekejap, bukan tidak mungkin undang-undang yang menjamin kebebasan pers, berpendapat dan berekspresi, pelan-pelan dilucuti dengan mudah sampai kita menuju era kegelapan.
Setidaknya upaya ini pernah dicobakan pada rencana revisi undang-undang penyiaran yang muatannya justru menjurus pada pemberian ruang kontrol negara terhadap isi siaran.
Pada situasi saat ini, pers profesional harusnya melontarkan kritik tajam terhadap pemerintahan demi menjaga masa depan kebebasan dan demokrasi.
“Rezim pemerintahan Jokowi memang tidak membredel media, namun banyak praktik selama ini justru mengancam kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi. Seperti kekerasan terhadap jurnalis yang terus meningkat, represi kritik di ranah digital, hingga upaya-upaya ‘membeli’ ruang redaksi untuk membangun citra positif pada kebijakan kontroversi yang ditentang oleh rakyat,” sambungnya.
Atas dasar itu, kami yang tergabung dalam Koalisi Lintas Organisasi Pers menyatakan dan menyerukan:
1. Demokrasi kita terancam dan pers wajib membelanya.
2. Mengingatkan media dan jurnalis tetap independen dan profesional dalam memberitakan kebenaran serta tidak takut menyajikan informasi yang akurat, kritis, terverifikasi dan tidak mudah diintervensi.
3. Di tengah situasi politik yang kisruh saat ini, mengingatkan pemerintah untuk menjamin perlindungan media dan jurnalis dalam menjalankan kerja jurnalistik melaporkan informasi kepada publik.
4. Pemerintah untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara dengan tidak merepresi pendapat dan kritik di berbagai kanal, termasuk ruang digital.
Kawal Demokrasi
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menegaskan peran penting pers sebagai pilar keempat demokrasi dalam menjaga keberlangsungan demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Dalam pernyataannya, IJTI mengingatkan bahwa pers memiliki tanggung jawab besar untuk mengawal proses demokrasi dan mencegah terjadinya krisis konstitusi.
Hal tersebut disampaikan menyusul keputusan MK pada 20 Agustus 2024 lalu yang mengeluarkan dua putusan penting, yakni Putusan MK nomor 60/PUU-XII/2024 dan nomor 70/PUU-XII/2024.
Kedua putusan tersebut berkaitan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah serta batas usia minimal calon kepala daerah.
Keputusan MK yang bersifat final dan mengikat ini dianggap dapat menimbulkan potensi krisis konstitusi apabila DPR RI menolak untuk mematuhi putusan tersebut dengan mencari celah hukum.
IJTI menilai ketidakpatuhan terhadap konstitusi yang telah diputuskan oleh MK dapat membungkam kebebasan berdemokrasi dan berekspresi.
“Dalam pandangan kami, keputusan MK justru membuka demokrasi lebih luas dan mengangkat aspirasi masyarakat terhadap tingkat yang lebih baik, dengan menyediakan calon-calon pemimpin yang berintegritas,” kata Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan dalam siaran resminya.
IJTI juga mengimbau seluruh elemen bangsa untuk berpegang teguh pada konstitusi, menjaga koridor demokrasi, dan berkomitmen mengedepankan kepentingan masyarakat luas.
Dalam hal ini, peran jurnalis di seluruh tanah air sangat penting untuk mengawal proses demokrasi dengan memberikan informasi yang akurat dan berimbang, agar publik tidak salah dalam memilih pemimpin mereka.
“Para pemimpin yang terpilih haruslah mereka yang memiliki integritas, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan memiliki akhlak yang amanah,” katanya.
Dengan situasi yang semakin kompleks, IJTI berharap pers di Indonesia terus menjalankan fungsinya sebagai pengawal demokrasi, untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tetap berada dalam koridor konstitusi demi kepentingan bangsa dan negara. (rdr)