Pembatasan terhadap isi siaran jurnalistik dan perluasan definisi penyiaran dapat menghalangi hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat, yang merupakan hak asasi manusia.
Revisi UU Penyiaran ini memuat berbagai ketentuan yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan pers. Dalam draf tertanggal 27 Maret 2024, beberapa pasal yang menjadi fokus kritik meliputi Pasal 50B, Pasal 8A, dan Pasal 42.
Pasal-pasal ini dianggap memberikan kewenangan berlebih kepada KPI dan membatasi kerja-kerja jurnalistik, yang seharusnya dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal ini membatasi ruang gerak jurnalis investigasi yang bertugas mengungkap kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Investigasi jurnalistik adalah elemen kunci dalam fungsi pengawasan pers terhadap pemerintah dan institusi lainnya.
Larangan ini akan menghambat transparansi dan akuntabilitas publik. Pembatasan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dan pelarangan konten tertentu juga akan merusak marwah jurnalisme sebagai pilar demokrasi yang berfungsi untuk mengawasi kekuasaan.
Meskipun penting untuk menghindari penyebaran berita bohong, ketentuan ini bisa disalahgunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis yang melakukan kritik terhadap pemerintah atau pihak-pihak berkuasa.
Pasal ini mengabaikan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan utama dalam praktek jurnalistik. Hal ini bisa mengarah pada interpretasi hukum yang sempit dan pembatasan terhadap kebebasan jurnalis dalam melaksanakan tugasnya.
“Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 51 huruf E.
Dengan memberikan KPI kewenangan menyelesaikan sengketa jurnalistik, potensi konflik kepentingan meningkat karena KPI lebih fokus pada regulasi penyiaran ketimbang melindungi kemerdekaan pers. (rdr)