Seiring perkembangan zaman, rumah-rumah pribadi mulai meninggalkan ukiran Minang, beralih ke model minimalis berkiblat ke Eropa. “Dampaknya, tak banyak lagi yang mau belajar ukiran Minang. Sebab, projeknya sedikit, upahnya juga murah,” ujarnya.
Hengki khawatir kekayaan seni Minang ini hilang di masa depan. Oleh karena itu, ia mengajak seniman ukir untuk terus menggunakan ukiran Minang dan memindahkan mediumnya, dari rumah adat ke media kreasi yang lebih kreatif.
Instruktur berikutnya, Iswandi menambahkan pentingnya inovasi dalam karya kriya. “Pembuatan souvenir, batik, tekstil, bisa jadi medium-medum baru yang kreatif dan bernilai jual,” ujarnya.
Iswandi menambahkan seniman perlu mempunyai keterampilan konstruksi penciptaan karya, teknik pemanfaatan alat dan media, serta referensi nilai filosofi dan budaya.
Pada workshop ini, peserta ditantang untuk membuat ukiran Minang dengan medium kreatif tersebut. Hasilnya menarik. Ada yang membuat kotak tisu, kotak handphone, gantungan kain, yang beradaptasi dengan kebutuhan pasar.
Salah seorang seniman, misalnya, membuat produk gantungan baju menyerupai gonjong rumah gadang. Motif yang digunakan adalah Aka Cino. Maknanya, motif ini mengajarkan sifat yang pantang menyerah dan tidak mudah putus asa.
Kepala UPTD Taman Budaya, Supriadi, berharap, karya-karya ukir ini dengan menggunakan motif Minang ini dapat bersaing di pasar nantinya. (rdr)