Selain tahapan pemilu yang meniadakan kampanye, katanya, gelar mantan narapidana korupsi ini juga menjadi topik hangat dalam pelaksanaan PSU yang akan terjadi mendatang.
Catatan kelam ini menjadi suatu perdebatan yang banyak muncul di tengah masyarakat, mengingat seharusnya pejabat yang punya catatan korupsi sebaiknya tidak terlibat kembali menjadi wakil rakyat sejalan dengan adanya putusan MK nomor 12/PUU-XXI/2023 yang menambahkan syarat harus ada masa jeda lima tahun bagi mantan narapidana maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).
“Namun yang menjadi titik permasalahan adalah putusan peninjauan kembali (PK) MA nomor 97 PK/Pid.Sus/2019 yang tidak mengkategorikan Irman Gusman ke dalam tindak pidana yang harus menunggu lima tahun untuk mencalonkan diri kembali. Ditambah Irman juga telah mendapatkan pidana tambahan sehingga jedanya menjadi hilang,” katanya.
“Terdapatnya penyelundupan hukum di Putusan MA yang membuat vonis Irman diturunkan dan membuat Irman tidak masuk ke kategori pasal yang butuh waktu jeda. Tapi pada esensinya, dia tetap adalah pelaku tindak pidana korupsi yang dalam hal ini dianggap menerima perdagangan pengaruh dalam putusan PK nya,” sambung Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand tersebut.
Selanjutnya, dalam amar putusan MK tersebut juga ditempatkan syarat yakninya Irman harus mengumumkan secara jujur dan terbuka tentang jati dirinya termasuk pernah menjadi terpidana korupsi melalui media yang dapat dibaca secara luas oleh masyarakat termasuk pemilih, dalam waktu paling lama 45 hari sejak putusan diucapkan.
“Hal ini juga dalam upaya untuk memberikan keterbukaan kepada masyarakat atas siapa yang akan mereka pilih. Pengungkapan jati diri sebagai mantan narapidana ini tentu harus menjadi perhatian seksama bagi masyarakat,” katanya.
Pemberian kepercayaan kepada mantan narapidana koruptor, kata Charles, merupakan salah satu bentuk putusan besar yang harus sama-sama dipertanggungjawabkan oleh masyarakat.
“Tentu semua pilihan dikembalikan kepada masyarakat sebagai seseorang yang punya hak untuk memilih, namun kebijaksanaan dalam menentukan siapa yang pantas dan tidak harus jadi pertimbangan yang besar dalam menentukan kemana arah suara akan dilabuhkan,” tuturnya. (rdr)