Kata Pakar Soal PSU DPD Sumbar Buntut Caleg Eks Terpidana Korupsi yang Menangkan Gugatan di MK

Pada esensinya, dia tetap adalah pelaku tindak pidana korupsi.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas (Unand), Charles Simabura. (Foto: Dok. Istimewa)

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas (Unand), Charles Simabura. (Foto: Dok. Istimewa)

PADANG, RADARSUMBAR.COMMahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 memerintahkan untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) pemilihan umum calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sumatera Barat (Sumbar) dengan mengikutsertakan Irman Gusman.

PSU ini dilakukan sebagai buntut dari gugatan Irman Gusman ke MK karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) disebut mencoret namanya dalam daftar calon tetap (DCT) untuk anggota DPD Sumbar.

KPU beralasan penghapusan nama Irman dari DCT untuk anggota DPD Sumbar merupakan hasil dari adanya laporan dari masyarakat terkait dengan statusnya yang belum melewati masa jeda lima tahun karena pernah dipidana dalam kasus korupsi suap impor gula Perum Bulog yang terjadi pada tahun 2016 yang lalu.

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Andalas (Unand), Charles Simabura menilai bahwa sebagai putusan yang bersifat final dan mengikat tidak ada kata lain selain mengikuti putusan MK.

Walaupun tidak terlihat ada terobosan hukum yang coba dilakukan MK, di mana MK berpandangan keputusan Mahkamah Agung (MA) adalah hal yang perlu untuk dihormati.

“Meskipun ada kritikan bahwa MK tidak mempertegas terhadap apakah pemohon masuk kategori yang disebut Undang-undang (UU) dilarang untuk maju dalam proses Pemilu DPD atau tidak. Tapi yang jelas norma itu menjadi yang tidak berlaku bagi pemohon, sebagaimana yang diputus MA. Jadi bagi saya ini hanya sekedar mempertegas posisi pemohon yang sudah dimenangkan oleh MA, dan MK mencoba mengambil sikap itu dengan menghormati putusan MA dalam bentuk perintah PSU,” kata Charles, Jumat (21/6/2024) malam.

Untuk tahapan PSU, kata Charles, tidak ada mekanisme khusus terkait dengan hal tersebut. Yang berbeda hanyalah tidak ada tahapan kampanye dan hanya ada tahapan sosialisasi. Sosialisasi ini akan dilakukan oleh KPU sendiri dan para peserta yang juga akan mensosialisasikan diri.

“Namun untuk sosialisasi tentu tidak akan sama dengan kampanye, di mana tidak akan ada istilah kampanye terbuka. Pola kampanye yang dilakukan hanya seperti melakukan kegiatan door to door, media sosial (medsos) dan berbagai baliho saja,” katanya.

Selain tahapan pemilu yang meniadakan kampanye, katanya, gelar mantan narapidana korupsi ini juga menjadi topik hangat dalam pelaksanaan PSU yang akan terjadi mendatang.

Catatan kelam ini menjadi suatu perdebatan yang banyak muncul di tengah masyarakat, mengingat seharusnya pejabat yang punya catatan korupsi sebaiknya tidak terlibat kembali menjadi wakil rakyat sejalan dengan adanya putusan MK nomor 12/PUU-XXI/2023 yang menambahkan syarat harus ada masa jeda lima tahun bagi mantan narapidana maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).

“Namun yang menjadi titik permasalahan adalah putusan peninjauan kembali (PK) MA nomor 97 PK/Pid.Sus/2019 yang tidak mengkategorikan Irman Gusman ke dalam tindak pidana yang harus menunggu lima tahun untuk mencalonkan diri kembali. Ditambah Irman juga telah mendapatkan pidana tambahan sehingga jedanya menjadi hilang,” katanya.

“Terdapatnya penyelundupan hukum di Putusan MA yang membuat vonis Irman diturunkan dan membuat Irman tidak masuk ke kategori pasal yang butuh waktu jeda. Tapi pada esensinya, dia tetap adalah pelaku tindak pidana korupsi yang dalam hal ini dianggap menerima perdagangan pengaruh dalam putusan PK nya,” sambung Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand tersebut.

Selanjutnya, dalam amar putusan MK tersebut juga ditempatkan syarat yakninya Irman harus mengumumkan secara jujur dan terbuka tentang jati dirinya termasuk pernah menjadi terpidana korupsi melalui media yang dapat dibaca secara luas oleh masyarakat termasuk pemilih, dalam waktu paling lama 45 hari sejak putusan diucapkan.

“Hal ini juga dalam upaya untuk memberikan keterbukaan kepada masyarakat atas siapa yang akan mereka pilih. Pengungkapan jati diri sebagai mantan narapidana ini tentu harus menjadi perhatian seksama bagi masyarakat,” katanya.

Pemberian kepercayaan kepada mantan narapidana koruptor, kata Charles, merupakan salah satu bentuk putusan besar yang harus sama-sama dipertanggungjawabkan oleh masyarakat.

“Tentu semua pilihan dikembalikan kepada masyarakat sebagai seseorang yang punya hak untuk memilih, namun kebijaksanaan dalam menentukan siapa yang pantas dan tidak harus jadi pertimbangan yang besar dalam menentukan kemana arah suara akan dilabuhkan,” tuturnya. (rdr)

Exit mobile version