“Dalam keadaan apapun, anak itu tetap dipandang sebagai seorang korban yang bertanggungjawab terhadap apapun tindakannya, kelakuannya, itu adalah lingkungannya, terutama keluarga. Nah, contoh kasus anak disuruh guling-guling, kemudian disundut rokok, saya menduga ini semacam common culture di kepolisian, saya khawatirnya seperti itu. Dalam konteks ini, saya berfikir bahwa atas dasar apa kepolisian kemudian pada saat ini melakukan penyiksaan kepada orang-orang yang masih diduga melakukan sebuah kejahatan, belum lagi kemudian kita terjebak dalam perang narasi,” katanya.
“Kemudian, ketika kita membicarakan data, dalam beberapa tahun belakangan, ada 42 kasus penganiayaan, parahnya 31 kasus oleh polisi, sisanya TNI lalu sipir. Dari 31 kasus itu, berakhir kepada hilangnya nyawa. Penyiksaan terhadap tahanan, itu sudah menjadi kekhawatiran saya sudah menjadi culture yang terlembaga di kepolisian,” sambungnya.
Ilhamdi juga melihat adanya inkonsistensi dari Polda Sumbar dalam memberikan pernyataan terhadap Afif Maulana hingga yang terkesan mengabaikan Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan kronologi kejadian yang cenderung berubah-ubah.
“Ini menarik ini, kita pinjam sudut pandang dari narasi Polda. Kata Polda kan kronologinya itu Afif mengajak Adit (rekan korban) untuk melompat ke sungai, tapi Adit tidak mau. Lalu kemudian, sekonyong-konyong Afif tiba-tiba menghilang, yang lainnya dibawa ke Polsek Kuranji pada saat itu dan kemudian narasi Polda lagi, Afif dia lompat. Kalau lah sekiranya Polda konsisten dengan argumentasi tersebut, lalu kemudian Polda konsisten bahwa Afif benar-benar lompat dan meyakini peristiwa itu terjadi, seharusnya TKP-nya dijaga, dilokalisasi, lalu kemudian didokumentasikan agar tidak rusak,” katanya.
Bahkan, Dosen di Fakultas Hukum Unand itu mengindikasikan Polda Sumbar sebenarnya tidak yakin dengan narasi mereka sendiri atau seperti membuat strategi terkait kematian Afif Maulana.
“Artinya, ketika polisi mengabaikan TKP, polisi juga tidak yakin dengan narasinya sendiri. Kalau polisi yakin, dia harus menjaga TKP. Karena di TKP itulah sebenarnya yang seharusnya dijadikan, jika memang benar-benar yakin Afif melompat, harus ada olah TKP. Sangat logis rasanya kita melakukan tes, kita tahu ada boneka balistik yang berbentuk jel menyerupai tubuh manusia, kan bisa saja TKP itu dijaga. Publik harus mempertanyakan ini lebih jauh,” tuturnya. (rdr)