Sebelumnya, eks Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim), Komjen (Purn) Susno Duadji meminta Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Barat (Sumbar) tidak terlalu cepat mengeluarkan pernyataan bahwa Afif Maulana meninggal dunia karena melompat dari atas jembatan.
Hal tersebut ia sampaikan untuk menanggapi pernyataan dari Kapolda Sumbar, Irjen Suharyono yang mengatakan bahwa Afif Maulana meninggal dunia pada 9 Juni 2024 lalu karena melompat dari atas Jembatan Sungai Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) demi menghindari polisi yang hendak mengamankan remaja itu karena diduga hendak melakukan aksi tawuran.
“Pertanyaannya, dia ada di sungai itu sudah mati baru diceburkan di sungai atau masih hidup didorong ke sungai. Tempat Kejadian Perkara (TKP) ada dua, apakah dia tidak dibawa ke Polsek (Kuranji), langsung hilang di jembatan itu. Kalau langsung hilang, Kapolda Sumbar terlalu cepat berbicara sesuai prosedur? Kalau sesuai prosedur, (anggota) Sabhara atau anggota Polri itu mengecek terlebih dahulu, apakah ada orang hilang. Kapolda jangan cepat-cepat (berstatement),” katanya dinukil Radarsumbar.com dalam sesi wawancara dalam program Kabar Petang tvOne, Jumat (28/6/2024) malam.
Jika terjadi tindakan yang tidak sesuai prosedur di Polsek saat mengamankan remaja yang diduga hendak melaksanakan aksi tawuran, Kapolda Sumbar harus menjelaskan secara gamblang ke publik.
“Kalau terjadi penganiayaan, itu pidana, jangan hanya dikenakan kode etik. Tindak pidananya itu penganiayaan mengakibatkan orang meninggal. Kapolda jangan begitu, anda tanggungjawab yah. Karena korban meninggal dunia, tidak boleh hanya dikatakan pelanggaran kode etik, ini tindak pidana berat,” katanya.
Ia mengatakan, dalam mengungkap suatu kasus, katanya, harus dilakukan oleh internal Polri itu sendiri, bukan dengan mengundang banyak instansi.
“Bukan tidak boleh mengundang keramaian, soal ramai-ramai itu tidak masalah seperti itu, tapi yang penting adalah tugas utama itu apa, mengetahui mengapa dia mati, mati karena dia bunuh diri, atau tidak sengaja dia kecelakaan, atau mati karena dianiaya? Itu publik yang ingin tahu, jadi konsentrasinya ke sana. Namun, harus internal Polri yang harus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini,” katanya.
Pensiunan jenderal bintang tiga Polri itu juga mempertanyakan pelanggaran etik terhadap oknum anggota Polda Sumbar dalam kasus kematian Afif Maulana.
“Yang dimaksud pelanggaran etik itu apa? Apakah hanya melanggar prosedur, misal harus menembak dahulu ke atas atau penganiayaan, kalau penganiayaan, itu tindak pidana, jangan hanya selesai dengan etik,” katanya.
Kemudian, ia juga mengkritik ahli forensik yang menangani kasus Afif Maulana terlalu jauh menyatakan bahwa remaja tersebut terjun atau terpeleset ke Sungai Kuranji.
“Kalau dia mengatakan seperti itu, belum ada ilmunya itu. Ahli yang lain jangan terlau melampaui kewenangan, sudah menentukan ini itu, tidak boleh. Ketika anak kita seperti itu, seperti apa? Kita harus berfikir seperti itu,” katanya.
Ia mengatakan, tidak semua dokter dan rumah sakit bisa mengeluarkan hasil visum dalam dan luar (et repertum).
“Kemudian dipersoalkan tentang visum atau tidak, kalau divisum apakah di RS Polri, kalau di sana, apakah mereka berwenang mengeluarkan hasil visum luar dalam. Tidak semua dokter dan rumah sakit mengeluarkan visum et repertum, apakah jasad diautopsi, kalau diautopsi kan ketahuan meninggalnya karena apa, misalnya meninggalnya tidak bisa bernafas akibat paru-paru penuh air, atau akibat apa, akibat apa. Nah ini harus dokter spesialis autopsi. Di rumah sakit mana dia diautopsi itu, dokternya berwenang tidak mengeluarkan itu, sehingga semua terang,” katanya.
“Saya ini masih makan gaji Polri, pensiun dari Polri, kasihan Polri. Dibully kasus Vina, kasus Sambo, ini lagi kalau terjadi kesalahan (dalam kasus Afif Maulana), sedih saya,” pungkasnya. (rdr)