PADANG, RADARSUMBAR.COM – Kasus dugaan intimidasi terhadap wartawan di saat meliput warga Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar), di Masjid Raya Sumatera Barat (Sumbar) pada Sabtu (5/8/2023) yang diduga dilakukan oknum polisi dikecam sejumlah pihak.
Salah satu yang memberi kritik kepada Polri adalah Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso.
Kepada Radarsumbar.com, Sugeng mengatakan, tindakan polisi yang menghalang-halangi wartawan yang tengah meliput suatu kejadian bisa dipidana.
Pasalnya, kata Sugeng, tindakan oknum Polri tersebut dinilai telah menciderai kebebasan pers sebagaimana yang diamanatkan di dalam Undang-undang (UU) Pers nomor 40 tahun 1999.
“Tindakan intimidasi oknum Polri pada kerja jurnalistik, itu tindak pidana. Dia harus diperiksa kode etik terlebih dahulu, itu sudah pasti, karena dia tidak taat hukum,” katanya via seluler, Senin (7/8/2023) malam.
Terkait wartawan yang tidak menggunakan tanda pengenal atau IS Card pada saat melakukan peliputan warga Air Bangis yang dipulangkan dari Masjid Raya Sumbar tidak bisa dipersoalkan.
“Jurnalis bekerja berdasarkan (amanat) UU, ID Card tidak ada soal, kalau dia benar-benar wartawan kan ada dia simpan di kantong, kecuali dia wartawan gadungan,” katanya.
“Namun, kalaulah juga bukan wartawan, masyarakat juga berhak mendokumentasikan, itu citizen journalism, karena itu di ruang publik, tidak ada hak (polisi) melarang-larang, ada kode etik yang dilanggar,” tuturnya.
Dikecam
Tiga organisasi wartawan yaitu Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumbar, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Padang menyayangkan tindakan dugaan kekerasan, intimidasi, dan penghalangan kerja jurnalistik saat pembubaran massa aksi di Masjid Raya Sumbar.
Sejumlah jurnalis yang sedang meliput di Masjid Raya Sumbar pada Sabtu (5/8/2023) diduga mendapatkan kekerasan, intimidasi dan penghalangan oleh personel Kepolisian.
Saat itu, sedang terjadi kerusuhan dalam proses pemulangan masyarakat Air Bangis Kabupaten Pasbar yang bertahan di lokasi, setelah menggelar demonstrasi sejak 31 Juli hingga 4 Agustus 2023 di Kantor Gubernur.
Ada empat orang wartawan yang diduga mendapatkan tindakan kekerasan dan intimidasi dari aparat kepolisian. Pertama, jurnalis Tribunnews, Nandito Putra.
Ia diduga dipiting polisi berpakaian bebas saat sedang merekam kondisi sambil live streaming untuk medianya. Ia sebelumnya juga dilarang mengambil gambar dan ponselnya juga berupaya direnggut.
Nandito Putra menjelaskan, sekitar jam 15.30 WIB, dirinya sedang melakukan siaran langsung di Facebook Tribunpadang.com dan merekam situasi pemulangan warag Jorong Pigogah Pati Bubur di pelataran Masjid Raya Sumbar.
Pengambilan gambar siaran langsung itu, katanya, mulanya berjalan lancar tanpa ada gangguan.
Namun setelah dua menit merekam kondisi warga, dirinya mengarahkan kamera ke arah aparat polisi yang sedang menarik-narik seorang perempuan.
“Saya mengikuti kerumunan itu hingga jarak lebih kurang tiga meter. Namun tiba-tiba saat saya merekam, tiba-tiba datang beberapa orang berpakaian preman dan menarik saya. Ponsel saya sempat diambil paksa. Lalu aparat tersebut menanyakan apa tujuan saya dan saya menjelaskan kalau saya sedang liputan,” katanya.
Dito bahkan mengaku dilepaskan usai dua orang jurnalis menyampaikan protes kepada para polisi, karena rekan mereka diamankan.
Namun saat upaya itu, petugas juga mengangkat kerah baju Fachri Hamzah Jurnalis Tempo dan melontarkan ancaman.
Selain Fachri, Aidil Ichlas Ketua AJI Padang juga tidak luput dari intimidasi dan ancaman dari petugas yang sama saat berupaya melepaskan Nandito.
Beberapa menit kemudian, sejumlah perwira dari Polresta Padang menengahi dan meminta maaf kepada Nandito, Fachri dan Aidil atas peristiwa tersebut.
Tidak hanya itu, perilaku intimidasi juga dialami oleh Dasril, jurnalis Padang TV. Saat itu, Dasril sedang mengambil gambar penangkapan salah satu pendamping dari LBH Padang.
Tiba-tiba ada salah satu pihak dari kepolisian menghalangi kamera Dasril untuk merekam
“Sudah-sudah jangan direkam lagi,” kata salah seorang polisi kepada Dasril. Mendapatkan perlakuan tersebut, Dasril tetap melanjutkan.
Selain itu, Zulia Yandani (Lia), seorang jurnalis perempuan dari Classy FM juga mengalami kekerasan dalam kerusuhan itu. Lia saat itu baru selesai shalat dan mendengar kericuhan di lantai I Masjid Raya Sumbar.
Karena melihat situasi memanas, ia lalu merekam peristiwa itu namun didatangi oleh sejumlah polisi, yang kemudian mengambil ponselnya.
“Saya sudah menerangkan kalau saya wartawan, tetapi mereka tetap menarik saya dan mengangkat kedua kaki saya. Saya hendak dibawa ke mobil,” katanya.
Atas peristiwa itu AJI Padang, PFI Padang dan IJTI Sumbar berpandangan, bahwa tindakan yang dilakukan pihak kepolisian telah melanggar kebebasan pers.
Padahal, UU nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers telah tegas mengatur tentang kerja-kerja jurnalistik.
Selain itu, tindakan intimidasi tersebut juga telah melanggar Pasal 18 ayat 2 UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Minta Maaf
Terbaru, Kabid Humas Polda Sumbar, Kombes Dwi Sulistyawan mewakili Polda Sumbar meminta maaf di hadapan puluhan awak media atas peristiwa penangkapan dan aksi viral yang terjadi di Masjid Raya Sumbar.
Hal itu disampaikan Dwi Sulistyawan dalam pertemuan Kemitraan Bidhumas Polda Sumbar dengan puluhan awak media, Senin (7/8/2023) di Mapolda Sumbar.
Saat dikonfirmasi terkait peristiwa yang terjadi di Masjid Raya Sumbar, Sabtu tersebut, Kabid Humas mengaku hebohnya kejadian itu dikarenakan dalam situasi yang urgent, crowded dan mendesak.
Mewakili pihak Polda Sumbar, dirinya memohon maaf atas kejadian dan peristiwa yang terjadi di Masjid Raya Padang.
“Terkait insiden di Masjid Raya Sumbar, saya mewakili Polda Sumbar meminta maaf pada rekan rekan,” imbuhnya. (rdr)