Amnesty International: Proyek Strategis Nasional Bermasalah, Aparat Represif Sikapi Aksi Damai Warga Air Bangis

Program itu menimbulkan korban dan mengancam hak-hak asasi manusia.

Demo masyarakat Air Bangis di depan Kantor Gubernur Sumbar. (Foto: Dok. Radarsumbar.com/Muhammad Aidil)

Demo masyarakat Air Bangis di depan Kantor Gubernur Sumbar. (Foto: Dok. Radarsumbar.com/Muhammad Aidil)

PADANG, RADARSUMBAR.COM – Amnesty International Indonesia mengatakan, proyek strategis nasional di Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) Sumatera Barat (Sumbar) harus dievaluasi.

Pasalnya, program itu menimbulkan korban dan mengancam hak-hak asasi manusia, termasuk hak-hak sipil, politik, bahkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat lokal.

Lembaga internasional itu juga merespons sikap represif aparat keamanan terhadap protes damai warga Air Bangis.

Sebagaimana diketahui, sekitar seribu warga Nagari Air Bangis melakukan aksi damai menolak rencana pembangunan proyek strategis nasional di wilayah mereka di depan Kantor Gubernur Sumbar, Kota Padang.

Mereka beralasan, proyek itu mengancam mata pencaharian dan hak-hak mereka atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Akibat protes enam hari itu, aparat keamanan memulangkan secara paksa para warga Air Bangis dan menangkap 18 orang, yang terdiri dari tokoh masyarakat, mahasiswa, dan advokat ataupun pendamping masyarakat.

Mereka datang dan tinggal berhari-hari untuk melaksanakan hak-hak konstitusional mereka dan mempertahankan ruang hidup mereka.

“Respons negara, baik polisi dan Gubernur, justru berlebihan dan terkesan memaksakan proyek strategis nasional,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Senin (7/8/2023) malam.

Usman melihat ada pengabaian terang-terangan terhadap hak dan kebebasan sipil.

Kekhawatiran warga Nagari Air Bangis tentang dampak proyek itu terhadap keberlangsungan hidup mereka sah dan harus didengar oleh negara, bukan malah direpresi.

“Tanpa persetujuan mereka, proyek itu tidak boleh dipaksakan,” katanya.

Ia mengatakan, negara juga harus mengevaluasi rencana proyek strategis nasional ini, karena studi sebelumnya dari organisasi-organisasi sipil seperti dari LBH Padang dan Walhi, menunjukkan proyek tersebut jelas berdampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Seperti, hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, dan juga berpotensi menimbulkan konflik baru di Sumbar, seperti mengancam hak atas tanah, ruang kelola rakyat dan kebudayaan masyarakat serta penghidupan yang layak.

“Jangan sampai negara mengulangi kesalahan proyek strategis nasional sebelumnya, yang mematikan lahan penghidupan masyarakat dan merusak lingkungan. Salah satu kesalahan itu pernah menimpa warga Desa Wadas terkait proyek Bendungan Bener dan pertambangan di Desa Wadas, Jawa Tengah,” katanya.

Damai vs Represif

Pada Senin (31/7/2023), sekitar 1.000 warga Nagari Air Bangis dan mahasiswa menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumbar menolak usulan proyek strategis nasional (PSN) kilang minyak dan petrokimia oleh Pemprov Sumbar ke pemerintah pusat dengan luas konsesi 30 ribu hektare karena menyerobot lahan yang dikelola warga.

Massa juga menuntut agar lahan yang mereka kelola secara turun-temurun dikeluarkan dari status hutan produksi.

Mereka menuntut pula agar anggota Brimob yang menjaga lahan program hutan tanaman rakyat (HTR) yang dikelola koperasi serba usaha di kawasan itu ditarik. Lokasi HTR juga dipandang tumpang tindih dengan lahan masyarakat.

Gubernur Sumbar hanya tampak sekali secara tak terduga datang ke Masjid Raya Sumbar untuk salat subuh pada Kamis (3/8/2023).

Sikap Gubernur Sumbar itu tidak cukup memuaskan warga Air Bangis yang merasa aspirasi mereka belum tersampaikan dengan melanjutkan aksi damai dan menginap di Masjid Raya Sumbar. Sedangkan pejabat Pemprov Sumbar mengklaim mediasi sudah dilakukan.

Pada Sabtu (5/8/2023), warga yang bertahan di Masjid Raya Sumbar dipulangkan secara paksa oleh aparat sehingga berlangsung kericuhan.

Sebanyak 18 orang ditangkap, yang terdiri dari enam orang masyarakat, empat mahasiswa, dan delapan aktivis atau pendamping hukum dari LBH Padang, tujuh orang dan PBHI, satu orang.

Kemudian, pada Minggu (6/7/2023) sumber kredibel Amnesty International Indonesia menyebut bahwa mereka telah dilepaskan dari Polda Sumbar, namun warga ‘dipaksa’ pulang ke kampung dan dikawal untuk pulang.

“Negara tidak boleh berdiam diri dan harus ada penyelidikan yang menyeluruh dan independen atas aksi represif berupa pemulangan paksa dan penangkapan tersebut. Negara juga tidak boleh meneruskan rencana Proyek Strategis Nasional itu selama belum ada penyelesaian dan konsultasi bermakna dengan masyarakat Nagari Air Bangis sebagai pihak yang terdampak atas proyek tersebut,” kata Usman Hamid.

Berdasarkan data yang dipantau Amnesty International Indonesia, selama Januari hingga Juli 2023 sedikitnya sudah terdapat 62 kasus serangan terhadap pembela HAM dan jurnalis, baik berupa laporan ke polisi (8 kasus), penangkapan (7 kasus), kriminalisasi (4 kasus), percobaan pembunuhan (2 kasus), serta intimidasi dan serangan fisik (41 kasus).

Intimidasi Aparat

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang menyebut sedikitnya empat orang jurnalis menjadi korban.

Jurnalis Tribunnews, Nandito Putra, diduga dipiting oleh polisi berpakaian bebas saat sedang merekam kondisi sambil live streaming untuk medianya. Ia sebelumnya juga dilarang mengambil gambar dan ponselnya juga berupaya direnggut.

Dito baru dilepaskan setelah dua orang jurnalis menyampaikan protes kepada para polisi, karena rekan mereka diamankan.

Namun saat upaya itu, petugas juga mengangkat kerah baju Fachri Hamzah Jurnalis Tempo dan melontarkan ancaman.

Selain Fachri, Ketua AJI Padang, Aidil Ichlas juga mendapatkan ancaman dari petugas yang sama saat berupaya melepaskan Nandito.

Beberapa menit kemudian, sejumlah perwira dari Polresta Padang menengahi dan meminta maaf kepada Nandito, Fachri dan Aidil atas peristiwa tersebut.

Tidak hanya itu, intimidasi juga dialami oleh Dasril Jurnalis Padang TV. Saat itu, Dasril sedang mengambil gambar penangkapan salah satu pendamping dari LBH Padang. Tiba-tiba salah satu pihak kepolisian menghalangi kamera Dasril untuk merekam sambil dihardik.

Zulia Yandani (Lia), seorang jurnalis perempuan dari Classy FM juga mengalami kekerasan.

Lia saat itu baru selesai sholat dan mendengar kericuhan di lantai I Masjid Raya Sumbar. Saat sedang merekam, dia tiba-tiba didatangi dua orang dan menanyai tanda pengenalnya.

Walau sudah dijelaskan Lia bahwa dirinya wartawan, namun mereka tetap menariknya dan mengangkat kedua kakinya serta hendak dibawa ke mobil.

Tindakan yang dilakukan pihak kepolisian telah melanggar kebebasan pers. Padahal, Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers telah tegas mengatur tentang kerja-kerja jurnalistik.

“Selain mengecam intimidasi dan kekerasan yang ditujukan terhadap para warga dan jurnalis yang bertugas di Masjid Raya Sumbar pada 5 Agustus lalu, kami juga mendukung tuntutan para jurnalis yang mendesak Kapolda Sumbar meminta maaf serta memproses anggotanya yang diduga melakukan intimidasi dan kekerasan kepada jurnalis sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proyek itu juga harus dievaluasi serius,” tuturnya. (rdr)

Gabung WhatsApp Channel, Telegram Channel, dan follow juga Facebook, Instagram Radar Sumbar untuk update berita terbaru
Exit mobile version