PADANG, RADARSUMBAR.COM – Kasus gugatan seorang anak di Padang demi hak warisan bernama Deni Yolanda yang sudah bergulir sejak tiga tahun belakangan ini mulai menemukan secercah harapan.
Dalam sidang mediasi yang digelar Pengadilan Agama (PA) Padang, Senin (4/12/2023), upaya tersebut gagal. Karena para tergugat tidak hadir dalam sidang tersebut.
Kuasa Hukum Penggugat dari kantor hukum Mbol Law Office, Syamsir Firdaus, SH mengatakan, upaya mediasi yang dilakukan kali ini gagal karena tergugat tidak hadir, hanya melalui kuasa hukumnya.
“Yang selalu hadir itu hanya tergugat 2. Ada sekali tergugat hadir yaitu tergugat 3, 5 dan 6 dari total 15 tergugat untuk diajak mediasi,” ujar Daus.
Dia mengatakan, agar semua pihak bisa sama-sama memahami keluhan Mbak Deni ini agar permasalahan atau perkara ini cepat selesai. Selain itu, ada beberapa gugatan yang sudah dikabulkan.
“Pihak kita saat ini hanya menunggu kejelasan dari saham-saham yang dibagi itu. Karena, klien saya sampai saat ini, sudah tiga tahun belum menerima. Tapi, dalam pembacaan gugatan tadi, tak ada yang hadir,” tutur Daus.
“Tanpa mengetepikan hak-hak lainnya, klien kita berharap semua ini clear, terutama semuanya masih satu keluarga inti,” kata Daus menambahkan.
Sementara itu, Deni Yolanda kepada media ini mengatakan, saat ini tiga aset rumah di kawasan Linggarjati, Bintaro Tangerang Selatan dan Pekanbaru juga masih dalam diskusi.
“Tiga aset rumah itu sebenarnya belum clear tapi sudah ada itikad dari pihak tergugat membagi atas aset itu, walau pembagian itu tanpa mengajak Deni Yolanda. Yang masih tersisa itu sekarang saham saya, belum ada kejelasan,” jelas Deni.
Disebutnya, Deni yang saat ini hidup sendiri selama tiga tahun belakangan ini juga harus menjual asetnya yang lain untuk bertahan hidup. Karena semua pekerjaannya sudah terampas oleh saudara sendiri.
“Saya hanya ingin semua saham yang menjadi hak saya kembali. Itu saja. Jangan sampai ada perilaku seperti menganaktirikan, kita semua saudara kandung, satu ayah satu ibu. Apalagi saya anak bungsu, semua bantu dan juga kasihani saya,” tegas Deni.
Kasus ini sendiri bermula sejak tiga tahun setelah pengusaha terkenal di Padang, H. Syaarani Ali wafat, anak-anaknya berhak mendapatkan warisan sekitar Rp60 miliar.
Salah seorang anaknya, Deni Yolanda melayangkan gugatan ke Pengadilan Agama Kelas I A Padang. Dalam gugatannya, dia meminta agar pembagian warisan mendiang orangtuanya dibagi secara adil.
“Almarhum papa itu meninggal tanggal 20 Desember 2020, itu otomatis kan turun waris. Kita sebagai ahli waris tentu sabar dulu, tunggu papa dimakamkan dulu, diselesaikan semuanya, kita tidak bahas warisan dulu.”
“Nah, sudah lewat masa 100 hari masa berduka mulailah awalnya Pak Dodi abang saya yang nomor 4 bertanya soal warisan ke kakak saya yang nomor 8, Bu Des,” ucap Deni Yolanda memulai pembicaraan kepada sejumlah wartawan di Padang, Rabu (23/8/2023).
Deni menyebut, saat itu dirinya tidak memihak siapa-siapa. Namun, karena perempuan, dia lebih mendengarkan kata-kata kakak perempuannya atau Bu Des. Bahkan, ketika itu sempat memandang negatif kepada kakaknya Dodi.
“Sempat memandang negatif juga waktu itu ke Pak Dodi karena dijelek-jelekin Bu Des, dibilang tanah kuburan masih merah sudah bahas harta warisan, orang lagi bersedih dia kok bahas duit dan harta aja,” jelas Deni Yolanda.
“Apalagi jabatan papa waktu itu kan dirut, jadi tentu setelah meninggal otomatis kan kehilangan pimpinan. Nah, papa waktu itu ada saham sekitar 86%, saham papa yang paling besar, itu kan hak warisnya jatuh ke anak-anaknya,” tambahnya kemudian.
Menurut Deni, waktu itu saudaranya perempuannya tersebut sempat bertanya terkait selisih 1 persen antara pembagian sahamnya dengan Dodi dan bertanya bagaimana cara dia untuk melebihi saham milik Dodi.
“Saya bilang, uni beli saja saham-saham yang dijual. Akhirnya dia beli saham kakak saya yang satu lagi bernama Def, dia tuna rungu.”
“Ternyata sudah dibeli dengan harga murah, dikasih Rp60 juta sampai Rp100 juta, dikasih mobil dan bulanannya juga dikasih. Harusnya kan dihitung berapa keuntungan, devidennya juga,” tutur Deni.
Dan sekarang, kata Deni, semuanya itu berbalik. Sang kakak yang dibelanya sejak itu malah membuatnya susah. Sudah tiga tahun belum ada titik jelasnya terkait pembagian tersebut, yang ada malah kakaknya tersebut membuat saham baru atas nama suaminya.
Dia kebingungan, antara takut melawan saudara dan disebut tidak menghormati, juga takut nanti ada perubahan lagi soal pembagian warisan tersebut. “Bukan saya tidak menghormati dia, cuma kalau gak sesuai kan kita juga berhak protes,” katanya lirih.
Di saat Deni sedang memperjuangkan haknya. Sosok kakak (Des) malah melakukan hal yang semena-mena, seperti menempatkan suaminya ke posisi komisaris perusahaan peninggalan sang Ayah.
Menurut dia, hal itu menyalahi ketentuan. Sebab sedari awal, perusahaan tersebut adalah warisan yang ditujukan ke anak kandung.
“Menurut saya ini sudah kesalahan. Sampai sang suami jadi komisaris. Ada apa ini sebenarnya? Makanya saya terus memperjuangkan,” katanya.
Sementara, salah seorang tergugat, Dody Delvi yang merupakan anak tertua yang masih hidup mengakui adanya gugatan dari adiknya. “Benar adik saya menggugat di Pengadilan Agama. Saat ini sedang proses,” kata Dody.
Dodi menyebutkan gugatan dilayangkan karena adanya ketidakpuasan dari sang adik soal pembagian warisan. “Katanya sahamnya sekarang tinggal 0,1 persen. Saya tidak tahu soal itu, tapi yang jelas dia merasa tidak puas,” jelas Dody.
Menurut Dodi, keputusan adiknya menggugat merupakan hak masing-masing. “Itu hak dia karena merasa pembagiannya tidak adil saja,” kata Dodi.
Berdasarkan ketentuan kasus pada Deni Yolanda, penggugat memohon kepada Pengadilan Agama klas IA Padang untuk menetapkan bagian masing-masing dari ahli waris Hj Rosmainar Binti H. Soli berdasarkan ketentuan hukum kewarisan Islam.
Menurut ketentuan hukum Islam, harta warisan harus disegerakan mengenai pemberesannya dan berdasarkan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana dirubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. (rdr)
Komentar