Seabad yang lalu, katanya, masyarakat Minangkabau telah diakrabkan dengan kultur pendidikan yang kental. Dimulai dari tersebarnya sekolah-sekolah swasta, dari pesisir pantai hingga dataran tinggi di Minangkabau.
“Di tahun 1840-an, lahir Sekolah Nagari (Nagari Schools) telah didirikan di tanah ini. Tidak berselang lama, di tahun 1856, Kweekschool di Bukittinggi pun didirikan untuk mendidik guru-guru yang akan ditugaskan di daerah Hindia-Belanda. Kemudian pada tahun 1911, sekolah-sekolah Islam bermunculan seperti Perguruan Thawalib Padang Panjang, Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang,” katanya.
Pada akhirnya, kata Arief, dapat diamini bersama bahwa karakter egalitarianisme dan kesadaran akan pendidikan oleh orang-orang Minangkabau lahir dari sejarah panjang yang saling terjalin.
“Dalam hal ini, daya juang dan keluhuran nalar Masyarakat Minangkabau menjadi penguat identitas di tengah kerumitan-kerumitan zaman,” katanya.
Arief Rosyid Hasan mengatakan, pemuda Minangkabau berpikir luas dan terbuka melalui falsafah adat Karatau madang di hulu babuah babungo balun, Marantau bujang dahulu di kampuang paguno balun.
“Merantau atau meninggalkan kampung halaman dan tentu saja melepaskan diri dari ikatan primordial, adalah salah satu fenomena sosial-kultural yang telah bermula sekian abad yang lalu. Selain sebagai keharusan, merantau sekaligus diidealkan bagi anak muda Minang menjelang dewasa,” tuturnya. (rdr)