Material Sirtu di Solsel Langka Imbas Kasus Penembakan Polisi

Kendati memiliki banyak sungai, namun di Kabupaten Solok Selatan belum ada jenis tambang galian c yang mengantongi izin (legal).

Salah satu sungai di Solok Selatan yang kerap dijadikan sebagai lokasi galian sirtu. (dok. istimewa)

Salah satu sungai di Solok Selatan yang kerap dijadikan sebagai lokasi galian sirtu. (dok. istimewa)

SOLSEL, RADARSUMBAR.COM – Material bahan bangunan jenis pasir dan batu (Sirtu) mulai langka di Kabupaten Solok Selatan (Solsel) dampak dari tidak beroperasinya tambang pasir dan batu (Sirtu) galian c ilegal.

Kendati memiliki banyak sungai, namun di Kabupaten Solok Selatan belum ada jenis tambang galian c yang mengantongi izin (legal).

Terpantau, aktivitas penambangan sirtu yang biasa menjadi sumber mata pencarian sebagian masyarakat ‘badarai’ sekitar aliran sungai Batang Suliti dan Batang Bangko nyaris tidak beroperasi, Jumat (29/11/2024).

Biasanya, aktivitas penambangan sirtu dilakukan dengan beberapa cara; manual dengan cara menyelam mengumpulkan pasir dari dalam sungai.

Lalu, menggunakan mesin jenis Dompeng untuk menghisap pasir dari dalam sungai. Dan menggunakan alat berat (excavator).

Terhentinya aktivitas ini buntut dari kasus penembakan AKP Ryanto Ulil Anshar oleh AKP Dadang Iskandar, pemicunya diduga akibat penangkapan sopir truk galian c ilegal.

“Kalau kita lihat memang sangat berdampak pada perekonomian masyarakat. Kita mendukung pemerintah untuk menertibkan tambang-tambang ilegal yang besar.”

“Sebab, Solsel dari dulu seakan tidak tersentuh pengawasan aktivitas tambang,” ujar Seorang Tokoh Masyarakat sekaligus Niniak Mamak, Noviar Dt. Rajo Endah.

Akan tetapi, imbuhnya, sangat disayangkan dengan adanya kasus penembakan sesama polisi ini berdampak pada tambang rakyat jenis Sirtu.

“Rakyat yang melakukan penambangan Sirtu memang menggantungkan ekonomi dari Sirtu,” tegasnya.

Noviar Dt Rajo Endah mengatakan penambangan Sirtu yang dilakukan masyarakat dialiran sungai, khususnya di daerah Kecamatan Sungai Pagu ini cukup membantu pemerintah.

Hal ini lantaran hampir setiap tahun dilakukan pengerukan sendimen sungai karena terjadinya pendangkalan sungai.

“Harga satu kubik sirtu kalau dari tambang rakyat di Solsel ini hanya berkisar diharga Rp60.000- Rp110.000. Sementara kalau membeli ke luar Solsel mencapai Rp350.000- Rp500.000 per kubik,” ujarnya.

Pihaknya juga mengatakan apabila aktivitas tersebut dibiarkan terlalu lama akan berdampak pada keamanan lingkungan.

Seperti, aksi pencurian karena sumber utama penghidupan sebagian masyarakat tergantung dengan Sirtu. Salah satu dampak dari pendangkalan sungai adalah mudahnya terjadi luapan air.

“Dari sisi ekonominya cukup membantu pemerintah karena tidak akan terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk pengerukan atau normalisasi sungai disebabkan pendangkalan,” katanya.

Kemudian, dampak ekonomi lainnya, katanya, sebagian masyarakat menggantungkan hidupnya dari hasil Sirtu.

“Apalagi disaat ekonomi sulit. Tapi, untuk tambang-tambang emas yang besar dan merusak lingkungan, kami sepakat untuk ditertibkan.”

“Kita juga berharap agar pemerintah secepatnya memikirkan solusinya terhadap masyarakat yang punya kehidupan ekonomi disitu,” tutupnya.

Kendati berbagai upaya telah dilakukan, pemanfaatan tambang rakyat secara bijak dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mendukung program pemerintah sekaligus menjaga kesejahteraan masyarakat setempat. (rdr)

Gabung WhatsApp Channel, Telegram Channel, dan follow juga Facebook, Instagram Radar Sumbar untuk update berita terbaru
Exit mobile version