“Jawabannya terlihat bersilat lidah dan merangkai kata-kata alias omon-omon. Ini orang kalau baca jawabannya merangkai kata-kata alias omon-omon untuk mencari 1.001 alasan, kalau bicara keseragaman. Berarti orang ini nggak paham Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.
Imbas kebijakan BPIP itu, kata Andre, ada anggapan negatif yang muncul terhadap pemerintah. Padahal, lanjut Andre, Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun Kemenpora tidak tahu-menahu perihal aturan pakaian Paskibraka 2024.
“Jadi ini orang bikin gaduh, bahkan orang ini seakan-akan bekerjanya untuk siapa ini? Kok seakan-akan ingin mendiskreditkan pemerintah. Akhirnya yang dapat nilai negatif, cap negatif, kan Presiden sama Kemenpora, padahal Presiden dan Kemenpora tidak tahu-menahu dan tidak terlibat. Ini orang ini nggak layak jadi Kepala BPIP,” katanya.
Tarik Pasukan
Gubernur Sumbar, Mahyeldi mengancam akan menarik pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) asal provinsi tersebut jika tetap dipaksa untuk melepas jilbab saat akan bertugas pada kegiatan upacara pengibaran bendera merah putih Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 di IKN.
Hal tersebut ia sampaikan dalam program Apa Kabar Indonesia Malam (AKIM) yang ditayangkan stasiun televisi tvOne dengan judul ‘Larangan Jilbab Paskibraka, Ulah Siapa?’ pada Rabu (14/8/2024) malam.
“Memang dari ucapan tidak ada pemaksaan, tapi dalam praktiknya pemaksaan. Kami dari Sumbar protes apa yang sudah dilakukan panitia, kami harap ini tidak terulang, kalau ini terulang, kami akan menarik anak kami dari pasukan itu,” katanya sebagaimana dinukil Radarsumbar.com.
Mahyeldi menilai bahwa pada malam pengukuhan Paskibraka di IKN tersebut tidak mungkin tidak disengaja karena kegiatan sudah dipersiapkan jauh hari.
“Apa yang dilakukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), saya kira apa yang dilakukan sudah melanggar hal-hal yang selama ini kita pahami dan bahkan dalam banyak kesempatan BPIP turun ke daerah, justru menanamkan semangat persatuan, saling menghargai, dengan sikap yang dilakukan kali ini oleh panitia, tentu melanggar banyak hal dan nampak ketidakprofesionalan,” katanya.
Pertama, katanya, kebebasan melaksanakan ajaran agama. Bagi umat Islam, menggunakan jilbab adalah bagian dari keyakinan itu. Selama ini ada yang mempermasalahkan isu-isu yang dibuat pihak tertentu, bahwa dipaksa menggunakan jilbab.
“Kegiatan ini sudah didesign, dipersiapkan jauh hari, tapi kenapa pada saat ini berlangsung hal tersebut. BPIP selama ini sudah mengajarkan kepada kita untuk saling menghargai dan ber-Bhinneka Tunggal Ika, namun nampak dari pelaksana untuk melanggar itu semua,” katanya.
Pelaksana, katanya, harus meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, karena mempermainkan, menganggap enteng apa yang sudah ditanamkan di Pancasila.
“Apalagi dalam situasi saat ini, sangat tidak tepat karena menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Saya kira sekarang ini, terjadi respons yang luar biasa ketidaksetujuan terhadap hal ini. Terjadi tindakan tak arif dalam situasi saat ini, apalagi kita akan melaksanakan Pilkada serentak di Indonesia, namun justru panitia membuat ulah, sehingga membuat tidak nyaman, mengganggu stabilitas,” katanya.
Presiden, kata Mahyeldi, sebenarnya sudah mengatakan perlu harmonisasi, namun kalau ini dilakukan justru merusak harmonisasi itu sendiri.
“Kebijakan yang dilakukan untuk pengukuhan Paskibaraka malam tadi itu tidak dilanjutkan jika dilarang menggunakan jilbab. Selama ini tidak masalah, bahwa di daerah-daerah terkait penggunaan jilbab bagi perangkat upacara, namun kenapa di tengah situasi kondusif, ini sengaja disengaja. Ini tanpa sepengetahuan Presiden ini, saya yakin ini,” katanya.
Sebelumnya, Mahyeldi meminta BPIP segera menjelaskan kepada publik terkait simpang siur informasi larangan berjilbab bagi anggota Paskibraka yang akan bertugas pada Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-79 di IKN. Jika benar aturan itu diberlakukan, Mahyeldi berharap agar BPIP segera mencabutnya.
“Kami berharap BPIP sebagai penanggung jawab Paskibraka 2024, dapat menjelaskan kepada publik. Apakah informasi viral soal larangan menggunakan jilbab bagi anggota Paskibraka itu benar atau hoaks,” katanya.
Jika BPIP memang memberlakukan aturan tersebut, katanya, maka hal itu sangat disesalkan, karena sama saja dengan tidak menghormati HAM dan telah melecehkan konstitusi.
Sebab, dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 sudah jelas dikatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
“Bagi perempuan Muslim atau Muslimah, memakai jilbab itu adalah ibadah. Karena itu, kalau ada yang melarang perempuan beragama Islam memakai jilbab di negeri ini, maka itu berarti sudah tidak menghormati konstitusi. Selain itu, pihak yang melarang perempuan Muslim di Indonesia memakai jilbab telah melecehkan ajaran agama,” katanya.
Oleh karena itu, sambung Mahyeldi, jika memang BPIP memberlakukan aturan pelarangan jilbab bagi anggota Paskibraka, maka diharapkan BPIP segera mencabut larangan tersebut.
“Jika tetap diterapkan atauran seperti ini, maka berarti sudajh merupakan kemunduran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan telah menimbulkan keresahan di masyarakat,” katanya.
Hal senada disampaikan Ketua Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Sumbar, Andre Harmadi Algamar.
Menurutnya, sesuai dengan arahan PPI Pusat, maka PPI Sumbar menyatakan prihatin dan menolak dengan tegas aturan atau tekanan terkait pelarangan jilbab bagi Anggota Paskibraka 2024.
“Putri yang biasa menggunakan jilbab, itu merupakan keyakinan dalam agama. Kami yakin dan percaya, Bapak Presiden Joko Widodo dan Presiden (Terpilih ) Bapak Prabowo Subianto akan sepakat bahwa tidak ada larangan dalam penggunaan jilbab bagi Anggota Paskibraka Putri yang akan bertugas nanti pada tanggal 17 Agustus 2024 baik di Istana Ibu Kota Negara, Provinsi, dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia,” katanya.
Pria yang juga Penjabat Wali Kota (Pj Wako) Padang itu pun berharap, jika benar aturan tersebut diterapkan, maka BPIP selaku Pengelola dan Penanggung Jawab Program Paskibraka agar segera mengevaluasi semua kebijakan dan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. (rdr)