Bungkam Pers, Pelarangan Investigasi dalam Revisi RUU Penyiaran juga Ancam Iklim Demokrasi

RUU Penyiaran tuai kritik. (Foto: Dok. Pexels)

JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Pelbagai kritik terus dilontarkan sejumlah kalangan ihwal larangan penayangan ekslusif siaran jurnalisme investigasi yang dimuat DPR dalam draft revisi Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyiaran. Kali ini, Koalisi Masyarakat Sipil menilai pelarangan tersebut bakal menghambat upaya pemberantasan korupsi.

Perwakilan Koalisi, Tibiko Zabar Pradano, mengatakan Pasal 50B ayat 2 huruf c ihwal larangan menayangkan siaran ekslusif jurnalisme investigasi, selain berupaya membungkam pers juga mengancam iklim demokrasi Indonesia.

“RUU ini menambah daftar panjang regulasi yang tidak pro terhadap demokrasi dan pemberantasan korupsi,” kata Tibiko dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Kamis, 16 Mei 2024.

RUU Penyiaran, Tibiko melanjutkan, juga bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Sebab, pelarangan terhadap jurnalisme investigasi sama saja dengan menutup akses terhadap transparansi dan pengawasan dalam pemerintahan. “Dalam konteks pemberantasan korupsi, tidak sedikit kasus korupsi yang terungkap dari laporan investigasi,” ujar dia.

Pun, kata Tibiko, konten jurnalisme investigasi menjadi kanal yang paling efektif dan aman bagi peniup pluit (whistleblower). Sehingga, dengan adanya pelarangan ini tentunya berdampak negatif pada penindakan kasus korupsi. Sebab, hasil liputan investigasi seringkali membantu aparat penegak hukum daam proses penyelidikan atau penanganan perkara korupsi.

“Data dan Informasi mendalam yang dihasilkan para jurnalis juga ikut memberikan informasi kepada penegak hukum untuk mengambil tindakan atas peristiwa dugaan kasus korupsi maupun pelanggaran lainnya,” ujar dia.

Sebelumnya, kepada Tempo, anggota DPR, TB Hasanuddin, mengatakan mereka tidak memiliki niat untuk memberangus kebebasan pers dengan memuatkan Pasal yang melarang siaran ekslusif jurnalisme investigasi.

Politikus PDIP itu menjelaskan, pelarangan diusulkan guna mencegah terpengaruhinya opini publik terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Soal pelarangan konten ekslusif jurnalisme investigasi menurut dia masih diskusikan juga. Karena jurnalisme investigasi itu ada banyak hal yang berpengaruh. “Saya kira bisa dipahami. Jadi jangan sampai proses hukum yang dilakukan aparat terpengaruh konten jurnalisme investigasi,” kata Hasanuddin pada Sabtu, 11 Mei 2024.

Kendati begitu, Hasanuddin melanjutkan, pendapat yang meminta agar siaran ekslusif jurnalisme investigasi tetap ditayangkan juga masih bergema di ruang rapat Komisi. “Saya pribadi mendukung agar tidak dilarang. Dengan syarat tidak mempengaruhi opini publik terhadap proses hukum yang sedang berlangsung saja,” ujarnya.

Pengaruh yang dimaksud Hasanuddin, ialah siaran ekslusif jurnalisme investigasi dikhawatikan mengubah opini dan persepsi publik terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum. “Sehingga ini masih akan dikaji, belum final dilarang. Karena ada yang menyatakan ini bisa jadi pembanding,” ucapnya.

Dihubungi terpisah, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu, tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Begitu pun larangan menyiarkan siaran ekslusif jurnalisme investigasi, hal tersebut tidak berkelindan dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum. “Justru jurnalisme investigasi membantu masyarakat memahami akar masalah dalam suatu peristiwa,” kata Yadi.

Seorang jurnalis dan tim yang melakukan kegiatan jurnalisme investigasi, Yadi melanjutkan, bekerja dengan mempedomani Undang-Undang Pers. Sehingga tidak ada kaitannya apabila kegiatan jurnalisme investigasi bakal mempengaruhi kerja aparat. “Bahkan dalam beberapa kasus, penyelidikan dan penyidikan aparat dibantu oleh proses jurnalistik,” ujarnya.

Sehingga, kata dia, penjelasan yang disampaikan oleh DPR ihwal pelarangan siaran ekslusif jurnalisme investigasi amat tidak berdasar. “Pasal ini mesti dicabut karena berpotensi memberangus kebebasan pers,” ucap Yadi. (rdr/tempo)

Exit mobile version