Skema tanggung renteng itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan SKB III yang masih berlanjut hingga tahun 2022. Sampai Februari 2022, BI telah membeli surat utang pemerintah Rp8,76 triliun berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) I, dengan rincian pembelian SUN Rp6,06 triliun dan SBSN Rp2,70 triliun.
Lewat skema-skema tersebut, penarikan utang pemerintah sudah susut sekitar Rp100 triliun pada Maret 2022 dari target semula. “Kami akan mengurangi issuance (penerbitan) utang dengan penggunaan SAL. Sampai Maret penurunan (penerbitan utang) Rp100 triliun,” sebut dia.
Sebelumnya, penarikan utang juga sudah turun 66,1 persen pada Februari 2022. Realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang di bulan itu sebesar Rp92,9 triliun atau 9,5 persen dari target APBN Rp973,6 triliun. Pembiayaan menyusut dari Rp273,8 triliun di Februari tahun 2021.
Secara lebih rinci, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto hingga Februari 2022 sebesar Rp67,7 triliun atau 6,8 persen dari target Rp991,3 triliun. Penerbitannya -75,1 persen dari Rp271,4 triliun di Februari 2021. Lalu, pinjaman neto mencapai Rp25,2 triliun atau tumbuh 954,4 persen. Menyusutnya pembiayaan utang berdampak positif kepada posisi imbal hasil (yield) di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Bagaimana pengelolaan utang RI di tahun depan?
Sri Mulyani yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Indonesia (IAEI) ini menjelaskan kebijakan fiskal pada tahun 2023 juga akan difokuskan untuk pengelolaan utang. Apalagi, ada ketidakpastian global dari sisi kenaikan inflasi di negara-negara maju yang berdampak pada pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS, The Fed. Pengetatan moneter ini mempengaruhi aliran modal asing dan yield (imbal hasil) SBN.
“Kenaikan inflasi dan pengetatan moneter, maka dari sisi utang yang akan kita kelola, akan juga mengalami tekanan dari sisi jumlah bunga utang maupun cicilan yang harus dibayar. Ini yang harus kita pertimbangkan,” ucap Sri Mulyani.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal 2023 terus fokus pada mendukung pemulihan ekonomi terutama program-program prioritas yang telah ditetapkan presiden, yakni membangun kualitas SDM, membangun infrastruktur, mereformasi birokrasi, merevitalisasi industri, dan mendukung pertumbuhan ekonomi hijau.
Di sisi lain, APBN akan melakukan reformasi di bidang pendapatan negara, belanja negara, dan di bidang pembiayaan dengan membangun pembiayaan yang makin inovatif. “Ini adalah bagian untuk mendesain APBN 2023 kembali menuju pada defisit di bawah 3 persen, yaitu agar jumlah kebutuhan untuk menerbitkan surat utang bisa diturunkan secara bertahap, namun tetap berhati-hati,” ucapnya.
Secara rinci, pendapatan negara dipatok pada kisaran Rp2.255,5 triliun hingga Rp2.382,6 triliun untuk tahun 2023. Porsi pendapatan negara itu mencapai 11,28 – 11,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) RI. Lalu, porsi belanja negara di kisaran Rp2.818,1 triliun hingga Rp2.979,3 triliun.
Besarannya setara dengan 14,09 hingga 14,71 persen dari PDB. Belanja negara tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat (BPP) sekitar Rp2.017 triliun – Rp2.152 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp800 – 826 triliun.
“Dengan belanja tersebut dan penerimaan yang tadi telah disampaikan defisit APBN tahun depan akan dirancang pada kisaran Rp562,6 triliun, hingga Rp596,7 triliun atau ini berarti 2,81 hingga 2,95 persen dari PDB,” tandas Sri Mulyani. (rdr/kompas.com)