Hal ini diperparah dengan perang Rusia dengan Ukraina. Sanksi yang diberikan Amerika Serikat dan Sekutu ke Rusia membuat harga minyak mentah melambung, begitu juga dengan gas alam dan batu bara.
Krisis energi pun melanda, yang membuat inflasi semakin meninggi. Belum lagi harga pangan yang semakin mahal akibat tersendatnya pasokan pupuk dari Rusia dan Ukraina. Alhasil inflasi menjadi tak terkendali.
Beberapa negara sudah pernah mengalami inflasi yang gila-gilaan. Zimbabwe misalnya, inflasinya kini mencapai 192% (yoy), tertinggi sejak April 2021. Meski demikian, kenaikan tersebut memicu kekhawatiran akan Zimbabwe kembali mengalami hiperinflasi seperti 2008.
Argentina dan Turki, menjadi negara G20 yang terancam mengalami kebangkrutan. Inflasi di Argentina meroket 60,7% (yoy) menjadi yang tertinggi sejak Januari 1992.
Turki lebih tinggi lagi. Pada bulan Juni, inflasi di negara yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan tersebut tercatat melesat 78,62% (yoy) yang merupakan titik tertinggi dalam 24 tahun terakhir.
Tingginya harga minyak mentah dan komoditas energi lainnya menjadi salah satu penyumbang inflasi, selain juga harga pangan.
Inflasi sektor transportasi dilaporkan melesat lebih dari 123%, kemudian harga makanan naik nyaris 94%. Inflasi di Turki diperparah dengan jebloknya nilai tukar lira lebih dari 20% sepanjang tahun ini melawan dolar AS. Meski lira jeblok dan inflasi meroket, bank sentral Turki (CBRT) masih enggan menaikkan suku bunga.
Ali Babacan, mantan menteri ekonomi Turki juga mengatakan Turki menuju kebangkrutan. “Hari ini, saya ingin mengatakan negara kita diambang kebangkrutan dan meminta pemerintah melakukan tugasnya segera,” kata Babacan sebagaimana dilansir Intellinews, pertengahan Juni lalu.
Ia juga menambahkan kebangkrutan berarti meluasnya dan semakin lamanya pemadaman listrik. “Bayangkan listrik dipadamkan selama 6 jam, 10 jam per hari.”I
“tu berbahaya. Mereka tidak tahu. Kebangkrutan berarti keruntuhan ekonomi dan finansial. Kebangkrutan berarti chaos,” ujar Babacan. (rdr/cnbc)