JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menerbitkan surat mengenai petunjuk penggunaan obat dalam bentuk sirup dan cair.
Dalam surat yang diterbitkan pada 24 Oktober itu, Kemenkes juga melampirkan daftar obat, yang berdasarkan pengujian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), tidak mengandung zat pelarut Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan Gliserin atau Gliserol, sehingga aman dikonsumsi.
Berdasarkan surat penjelasan Kemenkes dan BPOM tersebut, PT Combiphar, sebagai perusahaan farmasi, menginformasikan bahwa empat produk mereka sudah bisa dikonsumsi kembali oleh masyarakat karena terbukti bebas dari zat kimia berbahaya. Keempat produk itu yakni:
- OBH Combi Batuk Berdahak Menthol (Botol 100 ml)
- OBH Combi Batuk Berdahak Jahe (Botol 100 ml)
- OBH Combi Batuk Berdahak Menthol (Sachet 5 x 7.5 ml)
- OBH Combi Batuk Berdahak Menthol (Sachet 20 x 7.5 ml)
“Kami berharap agar produk tersebut dapat kembali disediakan di apotek, rumah sakit, toko obat dan modern channel/ritel modern,” demikian bunyi keterangan tertulis PT. Combiphar yang diterima CNBC Indonesia, Senin (7/11/2022).
Seperti diketahui, kasus obat sirup berbahaya tengah menjadi sorotan masyarakat dalam beberapa waktu terakhir. Pasalnya, cemaran zat kimia dalam sejumlah obat sirup terbukti menjadi pemicu kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak.
Kemenkes mencatat sebanyak 324 total kasus pasien Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GgGAPA) dengan angka kematian 195 anak hingga Senin (7/11/2022).
Tingginya angka kematian tersebut membuat rakyat menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Rakyat menuding pemerintah lalai melaksanakan tugasnya dalam melindungi masyarakat dari obat sirup berbahaya penyebab gagal ginjal akut.
Menanggapi hal tersebut, Kepala BPOM, Penny K. Lukito menolak bertanggung jawab atas peredaran obat sirup yang diduga menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut pada anak. Sebab, menurutnya BPOM telah bekerja sesuai dengan prosedur.
Penny menegaskan bahwa selama ini pihaknya telah menjalankan tugas sesuai dengan panduan standar obat Farmakope yang dikeluarkan oleh Kemenkes.
Oleh sebab itu, BPOM tidak memiliki kewajiban untuk mengawasi produk jadi obat-obatan. Alih-alih, BPOM meminta Kementerian Kesehatan merevisi Farmakope agar pengawasan menjadi baik.
“Jadi, jangan minta tanggung jawab kepada Badan POM karena Badan POM sudah melakukan tugas sebaik-baiknya,” ujar Penny dalam konferensi pers, Kamis (27/10/2022) lalu.
“Jika kalau sekarang ada penggiringan terhadap BPOM yang tidak melakukan pengawasan secara ketat, itu karena tidak memahami saja dari proses jalur masuknya, bahan baku, pembuatan, di mana, peran-peran siapa,” lanjut Penny. (rdr/cnbc)