PADANG, RADARSUMBAR.COM – UPTD Taman Budaya Sumbar menggelar pelatihan menulis dan diskusi buku Cerpenis Raudal Tanjung Banua, Sabtu (3/12/2022) kemarin. Karya terbarunya adalah ‘Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan’.
Kepala UPTD Taman Budaya Sumbar, Supriyadi mengatakan, pelatihan dan diskusi buku ini merupakan bagian dari program sastra tahun 2022 yang sebelumnya telah dilaksanakan workshop penulisan novel budaya di awal tahun.
Kemudian, juga penerbitan buku hasil workshop, peringatan 100 tahun Chairil Anwar, peringatan 98 tahun AA Navis, serta diskusi seni budaya.
“Raudal Tanjung Banua dipilih karena produktif menghasilkan karya sastra,” ujarnya.
Sebelum buku Raudal dibedah, putra Pesisir Selatan yang berdomisili di Jogya ini diampu memberikan pelatihan menulis kepada puluhan pelajar dan mahasiswa di Sumbar yang sebagian besarnya sudah menulis.
Menurut Raudal, menulis merupakan pekerjaan yang serius sehingga membutuhkan kedisiplinan. Ia mencontohkan, karena kedisiplinan tersebut, ia berhasil melahirkan karya sastra secara kontiniu.
Seperti, Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Perang Tak Berulu (2005), Kota-kota Kecil yang Diangan dan Dijumpai (2009).
Buku terbaru Raudal Tanjung Banua adalah kumpulan cerpen Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (2020).
Buku ini memuat 12 cerpen dengan berbagai tema. Menurut Raudal, cerpen-cerpen di buku ini pernah dimuat di rubrik Sastra Koran Tempo kurun waktu 2007-2016.
Buku kumpulan cerpen ini dibedah oleh Sastrawan Arif Purnama Putra dan jurnalis Fatris MF. Arif mengatakan, seperti judulnya, buku ini nostalgia Raudal dengan kampung halamannya.
“Tentang seseorang yang didongengkan ibunya ketika tidur,” sebut Arif.
Menurut Arif, Raudal menampilkan kisah masa kecil gang barangkali tak lagi dijumpai sekarang. Seperti mendongeng, mungkin sudah jarang ditemui.
Buku ini, lanjut Arif, merupakan album ingatan Raudal tentang masa kecilnya. Dari cerita-cerita itu muncul pesan-pesan kehidupan yang sarat makna. “Itu poinnya,” sebut Arif.
Sementara, Fatris MF memandang buku karya Raudal sebagai cerita fiksi, tapi bukan fiktif. Raudal menceritakan masa kecilnya sebagai jejak sejarah, yang barangkali apa yang disampaikan dalam cerita adalah fakta. (rdr)