JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Fenomena solstis sempat membuat heboh pengguna media sosial di Indonesia. Alasannya, ada imbauan menyebut agar tidak keluar rumah pada 21 Desember 2022 saat fenomena tersebut terjadi.
Terkait imbauan ini, peneliti Pusat Riset Antariksa BRIN Andi Pangerang Hasanuddin menuturkan, dampak solstis dirasakan tidak seekstrem seperti dinarasikan dalam imbauan menyesatkan tersebut.
“Sekalipun di hari terjadi solstis ini ada letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami maupun banjir rob, fenomena-fenomena tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan solstis,” tulis Andi seperti dikutip dari situs resmi Edukasi Sains Antariksa BRIN, Rabu (21/12/2022).
Alasannya, solstis merupakan fenomena astronomis murni yang sebenarnya lebih memengaruhi iklim dan musim di Bumi. Sementara fenomena gunung berapi hingga tsunami disebabkan oleh aktivitas vulkanologis, seismik, oseanik, dan hidrometeorologi.
Solstis sendiri pada dasarnya berdampak pada gerak semu Matahari ketika terbit, berkulminasi dan terbenam, hingga radiasi Matahari yang diterima permukaan Bumi. Karenanya, fenomena ini hanya memengaruhi panjang siang dan malam, serta pergantian musim Bumi.
Sebagai contoh, Solstis Desember biasanya akan memengaruhi durasi siang yang lebih panjang dibandingkan durasi malam. Kondisi ini berlaku untuk belahan Bumi selatan. Lalu untuk belahan Bumi utara, panjang siang (dari Matahari terbit ke terbenam) akan lebih pendek dibandingkan dengan panjang malam.
Pada wilayah yang berada di Lintang rendah, baik di belahan Bumi Utara maupun Selatan (<23,44 derajat LU/LS) biasanya terjadi puncak musim penghujan.
Solstis sendiri bisa disepadankan dengan “Titik Balik Matahari.” Secara khusus, Solstis dapat didefinisikan sebagai peristiwa ketika Matahari berada paling utara maupun Selatan ketika mengalami gerak semu tahunannya, relatif terhadap ekuator langit.
Dampak lainnya adalah intensitas radiasi Matahari akan maksimum untuk lintang sedang belahan Bumi Selatan (>23,44 derajat LS), sedangkan lintang sedang belahan Bumi Utara (>23,44 derajat LS) intensitas radiasi Matahari akan minimum.
Lalu untuk wilayah Kutub Utara (> 66,56 derajat LU) akan terjadi fenomena Malam Kutub (Polar Night). Fenomena ini terjadi karena Kutub Utara menjadi Matahari, sehingga seluruh bagian kutub tidak disinari Matahari dan panjang malam di wilayah itu menjadi 24 jam.