JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mendesak pemerintah, dalam hal ini Dirjen Minerba Kementerian ESDM melakukan pemeriksaan terhadap tenaga kerja asing (TKA) yang banyak bekerja di pertambangan nikel.
“Ini perlu dilakukan untuk memastikan dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat bahwa banyak TKA yang bekerja di pertambangan nikel ditengarai tidak memiliki kualifikasi yang memadai,” kata Mulyanto, Rabu (16/6/2021).
Menurut Mulyanto, laporan aspirasi ini penting untuk ditindaklanjuti agar tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Pemerintah jangan sungkan mengambil tindakan tegas, karena perbuatan ini jelas merugikan negara dari aspek ketenagakerjaan maupun pajak.
“Pemerintah harus memastikan bahwa tenaga kerja asing pada industri smelter nikel memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan, baik dari segi keahlian maupun dokumen keimigrasian yang dibawa,” kata Mulyanto yang juga menyuarakan itu saat Rapat Panitia Kerja (Panja) Minerba Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Dirjen ILMATE, Kementerian Perindustrian dan Deputi Investasi dan Pertambangan Menkomarinves, Selasa (15/6/2021).
Dia juga merasa heran jika jika TKA yang datang pada industri smelter ini berkualifikasi pekerja kasar dan dengan visa kunjungan. Kalau ini benar, sudah pasti merugikan Indonesia. Agar tidak jadi isu liar, dia meminta pemerintah untuk memastikannya.
Mulyanto mengusulkan kepada Ketua Komisi VII DPR RI agar isu kualifikasi TKA ini dijadikan fokus pembahasan saat kunjungan spesifik (kunsfik) Komisi VII ke industri smelter dalam waktu dekat ini.
Selain soal TKA tersebut, Mulyanto juga mendesak pemerintah untuk terus mengevaluasi pelaksanaan program hilirisasi nikel ini. Jangan sampai nilai tambah dan efek pengganda (multiflyer effect) yang konkret dari program ini jauh dari apa yang dijanjikan pemerintah.
“Hal ini dapat mengecewakan masyarakat, apalagi setelah adanya pelarangan ekspor bijih nikel dan soal harga jual bijih nikel (HPM) pada industri smelter, yang sempat bermasalah. Hilirisasi nikel ini adalah program yang bagus, agar kita tidak mengekspor bahan mentah, tetapi bahan jadi dengan nilai tambah tinggi. Dengan demikian, penerimaan negara akan meningkat,” katanya.
Selain itu dengan pengoperasian industri smelter ini akan menyerap banyak tenaga kerja lokal. Serta manfaat sosial-ekonomi lainnya. Namun, kalau prakteknya yang terjadi, bahwa produk yang dihasilkan hanyalah nikel setengah jadi dengan nilai tambah rendah serta maraknya TKA berkualifikasi kasar. Tentu ini tidak sesuai dengan harapan.
Untuk diketahui sebanyak 80% yang dihasilkan industri smelter nasional adalah bahan setengah jadi feronikel yang berkadar rendah (NPI). Hanya 20% hasilnya berupa stainless steel (SS). Karena itu nilai tambah industri smelter ini hanya mencapai 3-4 kali dari bahan mentahnya.
Tidak sebesar 19 kali sebagaimana yang dijanjikan Pemerintah bila yang dihasilkan adalah bahan jadi hasil fabrikasi siap pakai. Nikel setengah jadi inilah yang diekspor ke perusahaan induk untuk diolah menjadi barang jadi.
Tidak heran kalau beberapa pihak menduga bahwa praktek program hilirisasi ini lebih menguntungkan pihak asing karena mereka mendapatkan jaminan pasokan konsentrat nikel dengan harga murah dan memperoleh nilai tambah tinggi dari proses fabrikasi nikel setengah jadi menjadi barang jadi. Sementara masyarakat dilarang mengekspor nikel mental yang harganya tinggi di luar. (*)
Komentar