JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan bahwa pemerintah dalam beberapa kesempatan telah membicarakan wacana membentuk Pengadilan Tanah penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan dan pemberantasan mafia tanah.
Hal itu disampaikan Mahfud saat memberi arahan pembuka rapat lintas kementerian/lembaga serta perwakilan tokoh masyarakat terkait konflik pertanahan dan mafia tanah di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis.
“Sulit, sehingga ada beberapa kali rapat di sidang kabinet, kita mencoba mengintrodusir mungkin kita perlu Pengadilan Tanah, yang hukum acaranya, eksekusi nya, inkracht-nya, dan sebagainya itu berbeda dengan hukum biasa,” papar Mahfud.
Pasalnya, Mahfud mengingatkan pemerintah tidak bisa menyelesaikan mafia tanah dengan cara semena-mena.
Terlebih apabila hanya mengerahkan dengan kekuatan polisi, misalnya, justru bisa menjadi tindakan yang melanggar hukum dan menimbulkan gugatan berkepanjangan lagi. Sehingga harus ada proses secara hukum yang berkeadilan.
Meski demikian, Mahfud mengakui bahwa apabila Pengadilan Tanah sudah dibentuk secara resmi sekalipun, tidak menutup kemungkinan ada celah lain yang bisa ditempuh secara hukum oleh pihak-pihak tertentu.
Dalam arahannya, Mahfud juga sempat memaparkan sedikitnya 11 modus masalah pertanahan dan mafia tanah yang hasil temuan tim Kemenko Polhukam.
Salah satunya adalah penguasaan tanah aset pemerintah baik itu barang milik negara (BMN), barang milik daerah (BMD), atau aset BUMN secara tanpa hak oleh masyarakat yang terkadang melibatkan orang-orang kuat yang juga memiliki klaim.
Mahfud mencontohkan modus permasalahan itu dengan kasus sengketa tanah antara PTPN VIII dengan pondok pesantren Markaz Syariah di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. “Sesudah diteliti di pinggir-pinggirnya banyak juga orang gede yang punya tanah di situ, pensiunan menteri lah, pensiunan jenderal lah, mantan bupati, punya semua di situ,” ungkapnya.
Temuan itu disebut Mahfud membuat masalah yang ada semakin rumit, tetapi masih mungkin diselesaikan. Hanya saja persoalan serupa bisa terjadi di daerah lain yang menemui masalah karena pejabat penerbit sertifikat tanah kerap kali sudah meninggal dunia.
“Yang buat sertifikat Kepala BPPN-nya sudah mati, lurah yang buat surat keterangan sudah mati, kantor kelurahan nya sudah pindah dokumennya hilang semua, kan hukum tidak bisa kalau tanpa itu. Hukum yang sekarang begitu, makanya kita bertemu, nanti kita buat hukum, ya kalau perlu hukum rimba juga,” ujar Mahfud. (rdr/ant)