Tilap Ratusan Miliar Dana Donasi, Eks Presiden ACT Divonis 3,5 Tahun Penjara

Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin berjalan memasuki gedung Bareskrim sebelum diperiksa sebagai tersangka terkait penyelewengan dana umat. (Foto: Antara)

JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Majelis hakim mengungkapkan alasan eks Presiden yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin divonis 3,5 tahun penjara.

Menurut mereka, ada hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa garong dana sebesar Rp117 miliar tersebut.

Hakim anggota Hendra Yuristiawan mengatakan, hal yang memberatkan terdakwa Ahyudin dalam vonisnya yakni terdakwa menyalahgunakan dana sosial untuk para korban pesawat Lion Air Boeing 737 Max 8 dengan nomor penerbangan 610.

Selain itu, perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat luas khususnya penerima manfaat dan ahli waris korban pesawat Boeing. “Perbuatan terdakwa menyalahgunakan dana sosial Boeing penerima manfaat,” ucapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 24 Januari 2023 dilansir ruangpolitik.com.

Sementara itu, Hendra Yuristiawan juga memaparkan hal-hal yang meringankan vonis terhadap terdakwa Ahyudin, salah satunya yakni berterus terang dan menyesali perbuatannya. Selain itu, terdakwa Ahyudin juga mempunyai tanggungan keluarga serta terdakwa yang belum pernah dihukum. “Terdakwa berterus terang dan menyesali perbuatannya,” ujarnya.

Tilap Rp117 Miliar

Mantan Presiden yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 15 November 2022. Dalam persidangan yang dijalaninya, dia didakwa melakukan penggelapan dana donasi dari Boeing untuk keluarga atau ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air 610.

Kasus tersebut bermula saat pesawat Lion Air Boeing 737 Max 8 dengan nomor penerbangan 610 jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 29 Oktober 2018 lalu. Kecelakaan tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru dalam pesawat meninggal dunia.

Atas peristiwa tersebut, The Boeing Company menyediakan dana sebesar 25 juta dolar AS atau Rp350 miliar (kurs Rp14.000) untuk memberikan bantuan finansial kepada keluarga atau ahli waris korban kecelakaan melalui Boeing Financial Assistance Fund (BFAF). Selain itu, mereka juga mengucurkan dana sebesar 25 juta dolar AS (Rp350 miliar) untuk bantuan filantropis terhadap komunitas lokal yang terdampak.

Akan tetapi, bantuan tersebut tidak langsung diterima ahli waris korban, melainkan diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban. ACT sebagai pihak ketiga yang ditunjuk oleh pihak Boeing kemudian menghubungi ahli waris korban sebagai lembaga yang akan menangani dana sosial dari Boeing. Tiap ahli waris korban mendapatkan santunan dari Boeing sebesar 144.320 dolar AS atau senilai Rp2 miliar.

“Bahwa kemudian sebanyak 189 keluarga korban selaku ahli waris telah mendapatkan santunan dari Perusahaan Boeing yaitu masing-masing ahli waris mendapakan dana sebesar 144.320 dolar AS atau senilai Rp2 miliar (kurs Rp14.000),” kata jaksa.

“Di mana santunan tersebut diterima langsung oleh ahli waris sendiri,” ucapnya menambahkan.

Akan tetapi, selama prosesnya, Ahyudin didakwa menggunakan dana dari BCIF bersama dengan Ibnu Khajar dan Hariyana sebesar Rp117,9 miliar untuk kepentingan lain di luar peruntukan yang seharusnya.

“Bahwa Terdakwa Ahyudin selaku ketua Presiden Global Islamic Philantrophy bersama-sama dengan saksi Ibnu Khajar selaku Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap dan juga menjabat selaku Senior Vice President Partnership Network Department GIP dan Saksi Hariyana binti Hermain selaku Senior Vice President Operational GIP dan juga selaku Direktur Keuangan Yayasan Aksi Cepat Tanggap telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp117.982.530.997 diluar dari peruntukannya,” tutur jaksa.

“Yaitu untuk kegiatan di luar implementasi Boeing adalah tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan Maskapai Lion Air pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari pihak Perusahaan Boeing sendiri,” ujarnya menambahkan.

Minta Bebas karena Anak

Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ahyudin, memohon kepada majelis hakim agar terbebas dari hukum pidana, dengan alasan tanggung jawab menjadi tulang punggung keluarga, terutama untuk ke 14 anaknya. Hal itu diungkapkan oleh kuasa hukum Ahyuddin, Irfan Junaedi dalam pembacaan pleidoi di sidang hari Selasa, 3 Januari 2023.

“Terdakwa adalah tulang punggung puluhan keluarganya, memiliki 14 anak yang masih kecil-kecil semua,” kata dia.

“Yang masih membutuhkan kasih sayang seorang bapak dan juga biaya pendidikan serta kesehatan yang harus disiapkan oleh terdakwa,” ujarnya lagi, di hadapan majelis hakim.

Untuk itu Irfan melanjutkan bahwa pihaknya meminta kebesaran hati hakim untuk menerima nota pembelaan atau pleidoi kliennya sehingga ia bebas dari segala dakwaan.

“Kami penasihat hukum terdakwa memohon dengan segala hormat kepada majelis hakim Yang Mulia, yang memeriksa dan mengadili perkara a quo, kiranya berkenan memutus yang amarnya menerima nota pembelaan penasihat hukum terdakwa menyatakan menolak dakwaan dan/atau tuntutan jaksa penuntut umum secara keseluruhan,” tutur Irfan.

Selanjutnya, Irfan memohon agar kliennya dinyatakan tak bersalah sebagaimana dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU).

“Menyatakan terdakwa Drs Ahyudin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 374 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Membebaskan terdakwa Drs Ahyudin dari segala tuntutan hukum (vrijspraak) atau menyatakan terdakwa Drs Ahyudin lepas dari tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsopvolging),” ucapnya.

Dalam pleidoi yang sama, pengacara Ahyudin memohon supaya pengadilan memulihkan hak Ahyudin dalam kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai warga negara Indonesia. (rdr)

Exit mobile version