Konversi Kebutuhan atau Keinginan
“Apakah konversi ini sudah menjadi kebutuhan daerah atau keinginan Gubernur. Pertanyaan tersebut yang belum terjawab sampai saat ini oleh saya, apakah kebutuhan daerah yang katanya untuk mendukung komitmen Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah atau hanya sekadar nafsu Gubernur untuk menguasai Bank Nagari dengan selimut syariah, saya juga belum tahu persis,” tutur Hidayat.
“Persis yang saya tahu bahwa Gubernur sangat bernafsu itu iya. Buktinya, Gubernur sudah menyurati DPRD untuk meminta agenda pembahasan Ranperda konversi ini dilanjutkan walau Ranperda ini tidak masuk di Program Pembentukan Perda tahun 2022 ini. Tapi walau tidak masuk Propemperda 2022 tetap ada pelung hukum untuk dapat dibahas tahun ini. Mudah-mudahan sebentar lagi akan dibahas DPRD,” jelas Hidayat.
Ditambahkannya, jika ingin bersyariah secara kaffah alias tidak dibungkusan saja seperti praktik lembaga-lembaga keuangan yang berlabel syariah namun praktiknya tetap konvensional, maka dirinya jelas akan mendukung full hal tersebut.
Rentenir Merajalela, Gubernur Tak Gubris
Ia menduga Gubernur lupa dan gagal prioritas dalam mensyariahkan peradaban perekonomian rakyat Sumbar. “Mestinya yang diprioritaskan dulu adalah mensyariahkan peradaban,” ucapnya.
Hidaya mengaku, selama dirinya di Komisi III DPRD Sumbar yang bermitra dengan Dinas Koperasi dan UMKM, ternyata masih banyak pelaku usaha super mikro dan mikro yang ada di daerah ini, sumber pembiayaan usahanya berasal dari rentenir yang bunganya sangat mencekik. “Tidak digubris Gubernur itu, tidak terdengar bagaimana kebijakan Gubernur, minimal untuk mengurangi ketergantungan dengan rentenir. Justru sebaliknya, Peraturan Gubernur tentang program subsidi bunga terhadap pelaku usaha super mikro belum juga diteken Gubernur,” aku Hidayat.
Katanya, program subsidi bunga merupakan program yang digagas oleh DPRD Sumbar. Ketua DPRD dan pimpinan Komisi III beserta anggota saat itu menginisiasi program ini dan sudah menjadi kesepakatan antara DPRD, Pemrov dan Bank Nagari, namanya program simamak.
Namun, tambah Hidayat, keputusan mengoperasionalkannya ada di tangan Gubernur melalui pembentukan Pergub. Pergubnya belum keluar, padahal sudah sejak awal awal tahun 2021, bahkan juga sudah dialokasikan anggaran ABPD lebih kurang Rp3 miliar untuk subsidi bunga dengan total plafon kredit sampai belasan miliar yang diperuntukkan bagi puluhan ribu calon-calon debitur pelaku usaha super mikro. Faktanya saat ini masih nihil.
Padahal kata Hidaya lagi, program simamak ini merupakan pembiayaan yang diperuntukkan bagi pelaku usaha super mikro ini dengan bunga 2% setahun. Ada nilai edukasinya, selain pelaku usaha super mikro yang umumnya belum memiliki rekening bank diharapkan bisa punya pengalaman dan ramah terhadap pelayanan keuangan perbankan.
Sebaliknya, bank juga bakal memiliki rekam jejak terhadap ketaatan debitur membayarkan kewajibannya, sehingga selanjutnya bila membutuhkan kredit lebih besar, pihak bank sudah punya penilaian. “Namun, program baik memangkas rentenir yang menerapkan bunga sampai 20% sebulan ini gagal total gara-gara Gubernur tidak bersedia menerbitkan Pergub yang menjadi dasar hukum untuk melaksanakannya. Jadi kalau dapat tolong satukanlah antara perkataan dan tindakan, jangan hanya fokus pada casing,” harap Hidayat. (*/rdr)