JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Pemerintah resmi mengeluarkan aturan mengenai pemberlakuan pajak terhadap penyelenggara teknologi finansial atau fintech. Adapun pajak yang dikenakan yaitu pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn).
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022. Aturan ini ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan berlaku efektif mulai 1 Mei 2022.
“Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022 yang berlaku mulai 1 Mei 2022,” tulis beleid tersebut, Rabu (6/4/2022).
Dalam PMK 69/2022 disebutkan, pelaku dalam layanan pinjam meminjam atau peer to peer lending atau pinjaman online meliputi pemberi pinjaman, penerima pinjaman, dan penyelenggara layanan pinjam meminjam.
“Penghasilan bunga merupakan penghasilan yang wajib dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pemberi pinjaman,” tulis Pasal 3 ayat (1) beleid tersebut.
Lebih lanjut, bunga yang diterima atau diperoleh pemberi pinjaman dikenakan pemotongan yaitu: Pertama, PPh Pasal 23 sebesar 15 persen dari jumlah bruto atas bunga, dalam hal penerima penghasilan merupakan wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
Kedua, PPh Pasal 26 dalam hal penerima penghasilan merupakan wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, ditetapkan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20 persen dari jumlah bruto atas bunga atau sesuai dengan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda.
Selain itu, fintech juga wajib menyetorkan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang telah dipotong ke kas negara. Tak hanya itu, fintech wajib melaporkan pemotongan pajak PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 dalam surat pemberitahuan masa PPh.
Sedangkan PPN dikenakan atas penyerahan jasa penyelenggara fintech oleh pengusaha. Adapun penyelenggara fintech yang dimaksud yaitu penyediaan jasa pembayaran, penyelenggaraan penyelesaian transaksi (settlement) investasi, penyelenggaraan penghimpunan modal atau crowdfunding, layanan pinjam meminjam, hingga layanan pendukung keuangan digital lainnya.
“Penyediaan jasa pembayaran sebagaimana dimaksud paling sedikit berupa: uang elektronik, dompet elektronik, gerbang pembayaran, layanan switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana,” tulis Pasal 6 ayat (3).
Dalam PMK 69/2022 disebutkan bahwa penyelenggaraan penghimpunan modal atau crowdfunding merupakan Jasa Kena Pajak. Penyelenggara penghimpunan modal yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan Jasa Kena Pajak.
“Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dengan cara mengalikan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak,” tulis Pasal 11 ayat (3).
Dasar pengenaan pajak tersebut berupa penggantian yaitu sebesar fee, komisi, atau imbalan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima oleh penyelenggara penghimpunan modal. (rdr/merdeka.com)